Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi kebijakan pemerintah yang mengupayakan pinjaman untuk bank pelat merah dari dari China Development Bank (CDB). Kebijakan tersebut diyakini Indef akan menambah spekulasi di pasar uang karena tidak disertai alasan dan tujuan yang jelas.
Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati mengatakan tanpa adanya transparansi dan alasan yang jelas dari pemerintah soal kucuran utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut berpotensi memicu spekulasi negatif terhadap perekonomian Indonesia, terutama menyangkut pelemahan rupiah.
"Dengan tiba-tiba penyuntikkan dana ke tiga bank BUMN, ini belum tentu salah. Tapi pemerintah sendiri tidak memberikan kepastian apa alasannya pemerintah melakukan hal itu. Ini yang membuat spekulasi-spekulasi para pelaku usaha, jangan-jangan ini Rupiah sudah dalam kondisi bahaya," jelasnya di Jakarta, Jumat (25/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Spekulasi itu, katanya, pasti didasari oleh uji ketahanan (
stress test) perbankan yang dilakukan OJK. Hasil
stress test OJK menyatakan akan ada lima bank nasional yang kolaps jika nilai tukar rupiah menembus Rp 15 ribu per dolar AS.
Karenanya, Enny menyarankan agar pemerintah tidak menciptakan kondisi yang bisa meningkatkan persepsi negatif terhadap perekonomian Indonesia.
"Jangan sampai orang dalam kondisi kritis ini diganggu dengan berbagai macam kebisingan yang tidak perlu. Itu memicu kondisi yang semakin tidak stabil. Apalagi kini kita juga sedang dilanda ketidakpastian Fed Rate, jadi jangan sampai pemerintah juga buat sesuatu yang bikin Rupiah makin melemah," katanya.
Sebelumnya, PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia, dan PT Bank Rakyat Indonesia masing-masing mendapatkan pinjaman sebesar US$ 1 miliar dari CDB dengan tenor 10 tahun.
Pinjaman ini, jelas Enny, diberikan tanpa alasan yang jelas mengingat permodalan ketiga bank
tersebut cukup baik. Tercatat, rasio kecukupan modal (CAR) Bank Mandiri tercatat di angka 17,6 persen, BRI di angka 20,4 persen, dan BNI di angka 17 persen per Semester I 2015.
Enny mengatakan, sah-sah saja bank BUMN berutang asalkan disertai dengan transparansi latar belakang dan tujuan yang jelas. Namun, menurutnya, pemerintah terkadang tak pernah menjelaskan alasan dibalik aksi yang dilakukan sehingga hanya menambah gaduh kondisi perekonomian yang terjadi sekarang.
Apabila kegaduhan dan spekulasi ini tidak dikendalikan pemerintah, Enny meyakini tindakan operasi pasar valuta asing yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia tidak akan efektif karena tidak ada kepercayaan pasar.
Selama Agustus, Bank Indonesia (BI) telah menggelontorkan dolar AS ke sistem keuangan sebesar US$ 2,3 miliar untuk menjaga stabilitas rupiah. Alhasil cadangan devisa BI susut menjadi US$ 105,35 miliar dari poisisi Juli yang sebesar US$ 107,6 miliar.
"Stabilisasi nilai tukar yang paling fundamental adalah dengan neraca pembayaran tetapi neraca pembayaran kan tidak mungkin diselesaikan dalam waktu pendek. Yang bisa dilakukan dalam jangka pendek untuk bisa mendorong stabilisasi nilai tukar itu hanya kepercayaan," jelasnya.
(ags/gen)