Perlambatan Ekonomi China Diprediksi Seret Negara Berkembang

CNN Indonesia
Senin, 19 Okt 2015 23:30 WIB
Meski demikian dampak dari pelemahan pertumbuhan ekonomi China tak akan memberi dampak untuk Indonesia seperti halnya krisis ekonomi yang terjadi di medio 1997.
Presiden Joko Widodo bersama Presiden Republik Rakyat China, Xi Jinping serta sejumlah Kepala Negara mengikuti 'Historical Walk' dalam rangkaian Peringatan ke-60 tahun Konferensi Asia Afrika 2015, di Jalan Asia Afrika, Bandung Jumat (24/4). (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Perusahaan penyedia jasa konsultasi bisnis dan investasi, Price Waterhouse Coopers (PwC) memprediksi perlambatan ekonomi China yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir akan memberi dampak negatif pada kondisi perekonomian negara-negara berkembang atau emerging market termasuk Indonesia.

Ini mengingat dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi China akan membuat pengambil kebijakan seperti pemerintahan Joko WIdodo lebih seksama dalam menganalisa putusan yang ditetapkan. Terlebih ketika Indonesia memiliki hubungan dagang yang cukup besar dengan negara berjuluk 'negeri tirai bambu' tersebut.

“Sebagian negara-negara Asia Tenggara diperkirakan akan lebih rentan dari yang lain terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Hal ini tidaklah mengejutkan, karena selama 15 tahun terakhir ini, regional ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai pasokan produsen Tiongkok," ungkap Irhoan Tanudiredja, Senior Partner PwC Indonesia saat dihubungi CNN Indonesia, Senin (19/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

(Simak: Ekonomi China Hanya Tumbuh 6,9 Persen di Kuartal III)

Meski akan berdampak negatif, Irhoan bilang perlambatan ekonomi China diyakini tak akan memberi tekanan seperti krisis parah yang terjadi di medio 1997. Ini lantaran sebagian besar ekonomi Asia Tenggara saat ini telah memiliki penyangga fiskal yang memadai untuk mengehadapi penurunan.

Di kesempatan berbeda, Louis Kuijs, Analis Oxford Economics menyatakan pertumbuhan ekonomi China sepanjang kuartal III 2015 mengalami penurunan menjadi 6,9 persen dibandingkan realisasi kuartal sebelumnya yang menyentuh 7 persen.

"Dalam kondisi seperti ini kami berharap langkah-langkah moneter dan fiskal (pemerintah China) yang lebih bertahap," kata Kuijs dikutip dari Reuters, Senin (19/10).

Seperti diketahui, China merupakan pasar ekonomi terbesar kedua setelah Amerika Serikat (AS) yang kini tengah mengalami perlambatan pertumbuhan akibat sejumlah faktor meliputi pelemahan angka penjualan rumah hingga besarnya hutang pemerintah.

(Baca juga: Ekonomi China Stabil di Akhir Tahun Asal Pangkas Suku Bunga)

Meski begitu, sejumlah pihak meyakini pemerintah China masih dapat mempertahankan angka pertumbuhan ekonomi di kuartal IV sebesar 6,8 hingga 6,9 persen asalkan bank sentral bersedia memotong suku bunga sebesar 25 basis poin, serta menurunkan lagi jumlah cadangan devisa.

Survei terakhir Reuters menunjukkan, syarat tersebut akan menjadi harapan para ekonom yang menilai ekonomi China masih bisa bertahan di angka tersebut sebelum turun lagi menjadi 6,7 persen pada kuartal I 2016.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER