SETAHUN JOKOWI-JK

Industri Tekstil, Tersengsara Di Belitan Resesi

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Selasa, 20 Okt 2015 12:40 WIB
Di antara industri non migas, yang paling sengsara dalam belitan resesi ekonomi selama setahun pemerintahan Jokowi adalah tekstil. Mengapa?
Ilustrasi (CNN Indonesia/Antara Photo/Aditya Pradana Putra)
Jakarta, CNN Indonesia -- Masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang dimulai pada tanggal 20 Oktober 2014 lalu diawali dengan optimisme tinggi. Banyak yang meprediksi kalau indikator makro ekonomi Indonesia akan terus membaik di bawah kendali mantan Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tersebut. Kenyataannya tak begitu.

Rupiah terus melemah terhadap dolar AS. Pertumbuhan ekonomi saban kuartal di jalur menurun dan daya beli masyarakat melemah.

Di industri nonmigas, sektor yang paling sengsara adalah industri Tekstil dan Produk Turunannya (TPT). Sejak awal tahun, sektor ini terus mengalami penurunan pertumbuhan dari 0,98 persen di kuartal I dan kemudian terjun drastis sebesar 14,75 persen di kuartal selanjutnya secara year-on-year (yoy).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudradjat mengatakan salah satu faktor pelemahan tersebut adalah naiknya beban usaha akibat depresiasi nilai tukar. Pasalnya, sekitar 70 hingga 80 persen dari bahan baku industri TPT masih didatangkan dari luar negeri. "Pelemahan rupiah tentu saja akan sangat menyengsarakan industri tekstil," kata Ade.

Kondisi tersebut juga diperparah dengan adanya kenaikan tarif listrik bagi industri sehingga pihaknya meminta potongan harga listrik sebesar 40 persen dari pukul 23.00 hingga 06.00 demi menjaga efisiensi biaya. Bahkan, pada bulan ini, ada permintaan diskon tarif listrik lagi dari beberapa perusahaan menjadi sebesar 50 persen.

"Kenapa kami meminta diskon tarif listrik, pasalnya 18 hingga 26 persen dari total komponen biaya kami merupakan beban listrik. Sayangnya, hanya perusahaan yang memiliki working capital saja yang kuat. Karena meskipun kami tidak beroperasi, kami tetap saja memerlukan beban-beban usaha untuk pergudangan, salah satu beban usaha itu adalah tenaga listrik," ujar Ade.

Ia mengatakan bahwa sudah ada 18 perusahaan yang gulung tikar akibat tak bisa menanggung lagi beban-beban ini sepanjang semester pertama tahun ini. Bahkan, tak menutup kemungkinan perusahaan juga akan merumahkan beberapa karyawannya sebagai upaya efisiensi. "Hingga pertengahan tahun, sudah ada 30 ribu pekerja yang dirumahkan. Kalau keadaan tak berubah, maka bisa jadi angka itu bertambah hingga 50 ribu orang sampai kuartal III," katanya.

Demi efisiensi biaya, ia mengatakan sudah banyak pelaku industri TPT yang melakukan relokasi dari kawasan Jawa Barat ke Jawa Tengah karena nilai upah minimum yang cenderung lebih murah.

Diketahui, data Kementerian Ketenegakerjaan tahun 2014 menyebutkan bahwa Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) Jawa Tengah paling tinggi hanya sebesar Rp1,38 juta. Relatif lebih kecil dibandingkan Jawa Barat sebesar Rp 2,95 juta per bulan. "Kebanyakan dari tenaga kerja di Jawa Tengah itu hanya lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tapi itu justru menjadi daya tarik industri TPT untuk relokasi ke wilayah tersebut," kata Ade.

Bak jatuh tertimpa tangga. Permintaan domestik akan produk TPT semakin melesu. Sepanjang semester I 2015, permintaan dalam negeri turun sebesar 40 persen sehingga industri perlu putar otak dengan menggiatkan ekspor produk-produk tekstil.

“Kami menggiring output industri bagi pasar luar negeri karena memang lebih baik mendapatkan penerimaan dalam dolar AS demi membiayai input industri yang juga dibayar dengan dolar AS. Apalagi sekarang rupiah sedang melemah, maka akan sangat lebih menguntungkan untuk mengekspor produk mengingat harga kami jadi relatif lebih murah," ucap Ade.

Sampai akhir tahun, ia berharap porsi ekspor TPT akan meningkat 10 persen lebih banyak dibanding tahun sebelumnya. Kendati demikian, industri tak akan membuka pasar baru, namun akan lebih intensif dalam memasuki pasar-pasar utama produk TPT. Sebagai informasi, tiga negara tujuan ekspor tekstil terbesar produk TPT adalah Amerika Serikat (32,3 persen dari ekspor), Jepang (9,3 persen dari ekspor), dan Turki (4,9 persen dari ekspor).

Fokus ekspor tersebut tercermin dari peningkatan pertumbuhan ekspor TPT pada tahun ini. Tercatat, pertumbuhan volume ekspor TPT pada kuartal I yang sebesar 2 persen mengalami peningkatan sebesar 2,6 persen pada kuartal berikutnya secara YoY.

Untuk mengupayakan ekspor lebih tinggi lagi, Ade berharap pemerintah juga mau melakukan perjanjian kerjasama kesepakatan perdagangan (FTA) dengan negara-negara Uni Eropa dan juga Amerika Serikat demi meningkatkan daya saing ekspor TPT dengan negara lain. Dengan demikian, maka produk ekspor TPT Indonesia tak harus lagi membayar bea masuk hingga 30 persen ke wilayah-wilayah tersebut.

Nantinya tak hanya volume ekspor yang meningkat, namun nilai ekspor diharapkan juga bisa ikut terkerek. Karena meskipun volume ekspor meningkat, nilai ekspor TPT terus menurun sebesar 2,6 persen pada kuartal I dan nyungsep lagi sebesar 2,7 persen pada kuartal selanjutnya secara YoY.

Selain itu, kebijakan tersebut juga bisa meningkatkan kontribusi ekspor TPT Indonesia terhadap kebutuhan dunia. Melihat data tahun 2014, ekspor TPT mencapai US$ 12,74 juta atau 7,2 persen dari total ekspor non migas nasional tahun 2014 yang mencapai US$ 176,29 juta. Namun, angka tersebut hanya menyumbang 1,8 persen dari total permintaan TPT dunia.

"Adanya insentif fiskal memang bagus, tapi akan lebih efektif jika disertai dengan FTA. Selama ini produk tekstil kita kalah saing dengan Vietnam dan Tiongkok karena mereka memiliki FTA dengan negara lain, sehingga harga produk kita lebih mahal 11 hingga 30 persen karena dikenakan bea masuk," katanya.

Adanya kebijakan FTA ini pun diharapkan bisa menjadi daya tarik investasi TPT untuk masuk ke Indonesia. Karena kini investasi padat karya cenderung lebih suka masuk ke Vietnam dibanding ke Indonesia.

Melihat data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), penanaman modal asing (PMA) sektor tekstil yang masuk ke Vietnam pada semester I 2015 mencapai US$ 527,1 juta atau lebih besar berkali-kali lipat dibandingkan Indonesia yang hanya menggaet US$ 139 juta investasi tekstil pada periode itu.

Upaya Penyelamatan

Menyikapi tantangan yang dihadapi industri tekstil, Kementerian Perindustrian juga tidak tinggal diam. Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kemenperin, Harjanto mengatakan bahwa pihaknya akan memfasilitasi cadangan (buffer stock) bahan baku bagi industri TPT.

"Sebagai contohnya pusat logistik kapas di Cikarang Dry Port, sehingga kami harap mereka bisa memperoleh bahan baku dengan harga yang lebih efisien," kata Harjanto.

Pemerintah juga akan membangun fasilitas serupa bagi komoditas kulit. Bahkan sudah ada diskusi intens dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan agar pengurusan dokumen impor tekstil menjadi satu atap saja.

"Program itu pun juga akan kami imbangi dengan implementasi Standar Nasional Indonesia (SNI) agar produk ekspor TPT kita juga tak kalah saing," tambahnya.

BKPM dan Dirjen Pajak Kemenkeu pun juga ikut membantu industri TPT agar menjadi sektor berorientasi ekspor dengan memasukkan industri tersebut ke dalam daftar 143 sektor industri penerima tax allowance. Bahkan, awal bulan ini BKPM sampai membuat loket khusus investasi TPT yang memberikan konsultasi bagi para pelaku industri yang kini tengah mengalami masalah produktivitas atau di ambang melakukan PHK.

"Desk Khusus Investasi Sektor Tekstil dan Sepatu ini memang dimaksudkan untuk membantu investor yang sedang menghadapi masalah, sehingga PHK dapat dicegah. Investor yang menghadapi masalah silahkan datang untuk kita fasilitasi. Desk ini menangani permasalahan yang dihadapi investor secara case by case, karena permasalahan yang dihadapi perusahaan berbeda-beda," papar Kepala BKPM, Franky Sibarani pada awal Oktober lalu.

Mengingat sifat industri TPT yang merupakan industri padat karya, diharapkan fasilitas-fasilitas tersebut bisa meningkatkan geliat investasi TPT sehingga bisa menambah tenaga kerja mengingat industri ini menyerap 10,6 persen dari total tenaga kerja di sektor industri manufaktur.

BKPM mencatat, investasi TPT pada semester I 2015 mencapai Rp3,88 triliun dengan komposisi 55,8 persen untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan 44,2 persen untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Angka tersebut meningkat 58 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp2,45 triliun. (ded/ded)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER