Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) belum cukup puas dengan kenaikan 5 peringkat kemudahan berusaha (
Ease of Doing Business) Indonesia 2016.
Meskipun peringkat kemudahan berusaha Indonesia naik dari 114 ke 109 dari 189 negara, BKPM menilai pemeringkatan yang dilakukan Bank Dunia belum mencerminkan keseluruhan perbaikan reformasi birokrasi investasi yang telah diupayakan pemerintah pada tahun ini.
Deputi bidang Perencanaan Penanaman Modal BKPM, Tamba Hutapea menjelaskan, periode survei yang dilakukan Bank Dunia untuk mengukur kemudahan berusaha 2016 dilakukan mulai 2 Juni 2014 hingga 1 Juni 2015. Alhasil, Bank Dunia belum memasukkan semua unsur reformasi birokrasi investasi yang telah dilakukan Indonesia sejak dimulainya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) pada Januari lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meskipun kita sudah lakukan banyak reformasi, tapi sayangnya World Bank belum bisa
capture hal itu. Contohnya responden survei yang belum bisa mengonfirmasi akses
online untuk pendaftaran nama perusahaan atau pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftt Perusahaan (TDP) yang sudah bisa dilakukan pada PTSP, tapi sayangnya peraturan itu keluar pada bulan Agustus atau dua bulan setelah survei selesai sehingga tak masuk penilaian," ujarnya di Jakarta, Rabu (28/10).
Akibatnya, lanjut Tamba, 5 dari 10 indikator indeks kemudahan berusaha Indonesia menurun dari tahun sebelumnya. Dia menjadikan indikator memulai bisnis (
starting a business) dan indikator pendaftaran properti (
registering property) sebagai contohnya.
Indikator memulai bisnis (
starting a business) di Indonesia turun peringkat dari 155 ke 173. Demikian pula dengan indikator pendaftaran properti
(registering property) turun dari peringkat 131 ke 117.
"Selain karena reformasi yang terlambat, memburuknya indikator-indikator tersebut juga disebabkan oleh belum adanya perbaikan internal. Seperti contohnya, kita belum melakukan perubahan signifikan atas perlindungan investor minoritas dan juga perkara kepailitan, padahal negara-negara Asia Tenggara lain sudah lakukan perubahan mendasar soal itu" jelas Tamba.
Selain itu, indikator indeks kemudahan usaha yang peringkatnya paling anjlok adalah perdagangan lintas batas (
trading across border), di mana peringkat Indonesia turun dari urutan 62 ke 105.
Menyikapi hal ini, Tamba mengatakan kalau metode penghitungan yang berbeda dibanding tahun sebelumnya menjadi alasan kenapa peringkat indikator tersebut rontok 43 peringkat.
"Pada penghitungan tahun lalu, mereka hanya mengukur jumlah dokumen untuk ekspor dan impor, tapi sekarang mereka menggunakan jumlah biaya dan prosedur ekspor impor sebagai variabel utama, makanya peringkat kita di indikator tersebut turun," tuturnya.
Kendati demikian, Tamba tetap senang karena peringkat kemudahan berusaha Indonesia naik 11 peringkat berdasarkan perbaikan 5 indikator. Dia mengatakan, indikator perizinan terkait pendirian bangunan dan penyambungan listrik meruapkan salah satu variabel yang nilainya naik secara signifikan.
"Kalau indikator perizinan pendirian bangunan naik 46 peringkat dari 153 ke 107 karena kita memiliki kontrol kualitas bangunan yang baik, dimana dari nilai maksimal sebesar 15 kita dapat skor 13. Sedangkan peringkat penyambungan listrik naik dari 78 ke 46 karena adanya kepastian pasokan listrik, mengingat lokus penelitian dilakukan di Jakarta dan Surabaya," jelasnya.
Sebelumnya, Bank Dunia baru merilis data indeks kemudahan berusaha (
Ease of Doing Business) 2016 yang mencerminkan kemudahan berusaha di setiap negara. Terdapat 10 indikator yang digunakan sebagai penilaian yaitu
starting a business, dealing with construction permits, getting electricity, registering property, paying taxes, trading across borders, getting credit, protecting minority investors, enforcing contracts, dan resolving insolvency. (ags)