Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoroo menanggapi keberatan Fraksi Partai Gerindra yang menolak usulan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) masuk dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
Pernyataan tersebut diutarakan Bambang saat menanggapi keberatan Wilgo Zainar, anggota Fraksi Gerindra dalam rapat kerja pemerintah bersama Badan Anggaran Kamis (29/10) malam.
"Kami tidak keberatan PMN sebesar Rp 38 triliun itu di-
hold atau ditunda kemungkinannya. Saya sepakat dengan Pak Wilgo hasil revaluasi PMN tanpa harus memberi fresh cash untuk PMN," ujar Bambang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelumnya Wilgo mengusulkan pemerintah tidak perlu memberikan PMN berupa dana segar kepada perusahaan BUMN. Ia mengusulkan PMN bisa diubah dalam bentuk talangan pembayaran PPh bagi perusahaan BUMN yang berniat merevaluasi asetnya.
Tak hanya Gerindra, dalam catatan Panitia Kerja yang disampaikan Fraksi PKS juga menyebut ada beberapa BUMN yang sebelumnya menerima PMN ternyata tidak layak dan tidak menghasilkan kinerja yang baik setelah dikucurkan PMN. Atas dasar itu Fraksi PKS menolak beberapa BUMN yang menerima PMN yang bukan untuk meningkatkan
performance.
Namun menurut Bambang proses tersebut tidak mungkin bisa diselesaikan dalam satu pembahasan RAPBN 2016 kini dan ia berpandapat akan ada risiko pelebaran defisit anggaran apabila nantinya PMN tidak diberikan dalam bentuk uang segar kepada BUMN.
Pasalnya selama ini skema anggaran PMN masuk dalam pos pembiayaan non utang yang dimana PMN tersebut dibiayai oleh utang yang ditarik oleh pemerintah.
Kalaupun hal tersebut diterapkan maka selanjutnya PMN akan masuk dalam pos belanja non Kementerian dan Lembaga.
Jika direalisasikan, perubahan skema PMN itu juha harus menunggu hingga APBNP 2016 atau setelah perusahaan BUMN memanfaatkan insentif pajak hasil revaluasi aset.
"Dan Rp 38 triliun ini tidak mungkin dimasukan dalam APBN 2016 karena dia akan masuk di pos pembiayaan dan dia tidak bisa pindah ke belanja. Kalau pindah, defisit kita bisa melebar dari 2,1 jadi 2,4 persen kalau dinaikan ke belanja," ujar Bambang.
(ags/ags)