Jakarta, CNN Indonesia -- Riant Nugroho, Direktur Eksekutif Institute for Policy Reform (IPR) menilai berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 merupakan bukti kualitas dan kredibilitas legislatif dan eksekutif yang rendah.
Pemerintah sebagai inisiator maupun DPR selaku mitra kerja, dinilai Riant sama-sama punya andil negatif dalam proses politik anggaran itu.
"Jadi kesimpulannya bujet anggaran 2016 tidak akan selesai pada waktunya karena masing-masing, baik pemerintah maupun DPR-nya, tidak berkualitas," ujarnya kepada CNN Indonesia, Kamis (29/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Riant, jika pemerintah punya perencanaan pembangunan dan tata kelola anggaran yang baik, maka seharusnya konflik di parlemen bisa dieleminasi.
"Pemerintah tidak cerdas. Perencanaan yang baik seharusnya dipublikasikan dulu sebelum dibahas dengan DPR. Setelah rencana kebijakannya bisa diterima publik atau stakeholders, mana berani parlemen menolaknya," tuturnya.
Dosen Universitas Indonesia itu menjadikan kebijakan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebagai contoh aksi politik anggaran yang keliru. Menurutnya, tidak seharusnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergantung pada suntikan modal negara karena lazimnya mencari pendanaan sendiri dengan melakukan aksi korporasi.
"Kalau BUMN sudah persero atau terbuka, tidak bisa duitnya dari aksi politik. Seharusnya itu dari aksi korporasi, misalnya dari perbankan atau right issue. Kalau BUMN dapat modal dari aksi politik, maka ditenggarai terjadi fraud di situ," tuturnya.
Selain itu, Riant juga menganggap Kabinet Kerja gagal menerjemahkan program Nawa Cita yang sudah baik dalam bentuk kebijakan yang melayani publik. Visi kemandirian yang diamanatkan program Nawa Cita menjadi bias karena kebijakan pendanaannya justru terlalu bergantung pada pinjaman dan kemitraan asing.
"Nawa Cita yang sudah baik kalau diterjemahkan tidak baik ya jadinya pasti tidak baik. Kalau tidak punya uang ya lakukan efisiensi, bukan cari pinjaman atau bermitra dengan persuahaan asing," tuturnya.
DPR juga dinilai Riant tidak mencerminkan posisinya sebagai wakil rakyat. Legislatif tidak seharusnya memaksakan untuk ikut mengelola anggaran dan proyek-proyek yang sifatnya operasional.
"Misalnya dengan menyisipkan dana aspirasi, itu tidak bisa karena akan tumpang tindih nantinya," tuturnya.
Risiko TerburukSesuai jadwal, RAPBN 2016 seharusnya disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis (22/10). Namun, kesepakatan yang sudah diputuskan di Badan Anggaran DPR menjadi sia-sia karena tarik-menarik kepentingan politik di parlemen. Alhasil, sampai detik ini, sehari menjelang batas akhir pembahasan, pemerintah dan legislator kembali melakukan tawar-menawar kebijakan.
"Kosekuensinya kalau sampai besok tidak sepakat, maka pemerintah kembali menggunakan APBN yang lama (APBNP 2015)," ujar Riant.
Apabila kondisi terburuk ini terjadi, lanjutnya, maka kebijakan pemerintah pada tahun depan akan terbelenggu oleh keterbatasan anggaran. Pasalnya, postur RAPBNP 2015 tidak lagi relefan untuk dipakai pada tahun depan mengingat kondisi ekonominya sudah berbeda dengan tahun ini.
"Istilahnya, pemerintah itu keluar dari mulut buaya, masuk mulut singa," katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, pemerintahan Joko Widodo akan melakukan pembangunan ekonomi pada tahun depan tanpa bekal perencanaan yang baik.
"Dengan perencanaan saja ada kemungkinan gagal. Apalagi tanpa perencaan, sudah pasti gagal, " ucap Riant.
(ags/dim)