Jakarta, CNN Indonesia -- Praktik jual-beli gas pipa dari produsen ke konsumen melalui beberapa penjual perantara tidak hanya membuat harga gas yang sampai ke tangan konsumen menjadi tinggi, namun juga menimbulkan risiko gagal bayar harus dialami oleh produsen gas.
Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menjelaskan dalam penjualan gas dari produsen ada mekanisme
take or pay, di mana pembeli gas harus membayar gas atas alokasi yang sudah diberikan oleh produsen meskipun ia tidak bisa mengambil untuk disalurkan. Hal ini menurutnya banyak dialami oleh
trader gas bermodal kertas yang mendapatkan alokasi gas dari produsen.
Margarito menyebut, jika pemberian alokasi gas tersebut berasal dari badan usaha milik negara (BUMN) seperti PT Pertamina (Persero) atau perusahaan pelat merah lainnya maka risiko gagal bayar oleh para
trader juga akan dirasakan oleh BUMN.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jika kemudian alokasi itu diberikan oleh Pertamina padahal mengetahui bahwa orang ini akan sulit menjual alokasi gasnya, dan sadar bahwa Pertamina akan rugi namun tetap saja diberikan dibiarkan. Maka menurut saya itu menjadi kerugian negara," kata Margarito, Rabu (4/11).
Untuk itu, ia meminta agar setiap skema jual beli gas di Indonesia dilakukan secara transaparan. Jangan sampai terjadi masalah-masalah seperti gagal bayar karena proses transaksi jual beli gas. Ia menilai, seringnya terjadi gagal bayar dari kontrak alokasi gas yang diberikan karena alokasi itu diberikan pada mereka yang tidak kemampuan kapasitas infrastrktur.
"Kenapa alokasi gas itu selalu diberikan pada
trader yang notabene tidak punya infrastruktur ini yang mesti dibenahi betul," tegasnya.
Pertamina juga disarankan menjaga akuntabilitasnya dalam berbisnis gas bumi. Ia berharap jangan ada lagi pemberian alokasi gas dengan bermodal kedekatan terhadap kekuasaan.
"Skala pemberian harus diberikan ke mereka yang sudah jelas, skala prioritas, dan sudah punya infrastruktur gas. Tidak bisa lagi dilakukan dengan cara curang, ada rente, itu harus dihentikan," tandas Margarito.
Untuk menyisir seluruh kontrak jual-beli gas yang menguntungkan perantara, ia mendorong pemerintah atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit kinerja terhadap Pertamina.
"Sebaiknya dilakukan audit kinerja terlebih dahulu terhadap Pertamina oleh BPK agar akuntabel. Dengan hasil audit kinerja BPK itulah jadikan dasar untuk aparat hukum masuk," tegas Margarito.
(gen)