Jakarta, CNN Indonesia -- Saham-saham emiten yang bergerak di bidang infrastruktur diperkirakan akan menjadi unggulan di 2016 seiring konsistensi kinerja emiten infrastruktur tahun ini. Besarnya peluang yang diberikan pemerintah kepada perusahaan swasta untuk ikut membangun infrastruktur nasional di tengah keterbatasan dana pemerintah, menjadi pertimbangan utama saham emiten infrastruktur layak dikoleksi tahun depan.
Ketua Asosiasi Analis Emiten Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan mengatakan kalau kinerja sektor ini terbilang masih lumayan dibandingkan sektor lainnya. Ia menyebut pertumbuhan return dari sektor ini akan membaik ke depan.
Data Bursa Efek Indonesia menunjukkan indeks saham emiten infrastruktur memang mengalami penurunan sebesar 21,07 persen sejak awal tahun dari angka 1.160,28 di awal Januari ke angka 915,80 pada penutupan Selasa (17/11) kemarin. Namun angka ini masih terbilang lebih baik dari sektor lain seperti agrikultur yang menurun 29,79 persen atau pertambangan yang turun 35,65 persen di periode yang sama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di antara semua sektor yang ada, memang infrastruktur saja yang terlihat lebih baik. Kalau sektor lainnya kan sangat rentan akan kondisi eksternal, seperti harga komoditas dan masalah nilai tukar. Kami prediksi infrastruktur akan menjadi primadona mulai 2016 hingga 2020," jelas Haryajid di Jakarta, kemarin.
Kondisi tersebut diperkuat dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi pemerintah yang masih optimistis bisa mencapai 5,5 persen kendati hingga kuartal III 2015 pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,7 persen saja. Jika pemerintah optimistis, tambahnya, maka ada indikasi kalau tahun depan pemerintah betul-betul ingin serius menggenjot pembangunan infrastruktur.
"Perbaikan infrastruktur ini berpeluang akan membuat Indonesia maju ke depan. Dampaknya bagi pihak swasta akan sangat bagus, karena bisa ikut membiayai pembangunan-pembangunan yang masih belum bisa didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)," jelasnya.
Anggaran Infrastruktur NegaraSebagai gambaran, anggaran pembangunan infrastruktur yang disediakan pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 mencapai Rp 4.796 triliun, di mana APBN hanya bisa menutupi sekitar 50 persen dari angka tersebut atau sebanyak Rp 2.400 triliun. Menurutnya, pemerintah perlu menghimpun dana luar jika seluruh pembangunan infrastruktur terselesaikan di empat tahun mendatang.
"Tinggal bagaimana pemerintah pintar-pintar cari pembiayaan. Kalau menggunakan pinjaman dari intitusi keuangan mungkin tak akan bisa meng-cover seluruh pendanaan. Kalau swasta masuk mungkin bisa, penghimpunan dana sebesar itu kan sama seperti kapitalisasi pasar per tahunnya. Tapi ingat, tetap hati-hati karena kini perekonomian tak gampang diduga," jelasnya.
Menyambung pernyataan Haryajid, Direktur Operasional PT Nusantara Infrastructure Tbk Danni Hasan mengatakan kalau investasi infrastruktur di Indonesia terbilang lebih menjanjikan dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, baik dari segi pertumbuhan maupun regulasi.
Diakuinya, memang saat ini rata-rata margin laba bersih (
net profit margin) sektor infrastuktur Indonesia masih di angka 24 persen, atau lebih rendah dibandingkan Thailand (38 persen) atau Malaysia (36 persen). Namun jika melihat dari pertumbuhan akumulasi (CAGR) selama lima tahun terakhir, Indonesia memiliki pertumbuhan
net profit margin sebesar 11 persen, lebih tinggi dibandingkan Malaysia (7 persen) atau Thailand (0 persen).
"Tentunya sektor ini masih prospektif kedepannya karena pendapatannya lebih ke arah
fix income, seperti pungutan jalan tol, pembelian listrik oleh PT PLN (Persero) dan lain-lain. Pendapatan pasti tumbuh karena semua orang menggunakan infrastruktur, tidak seperti sektor lain yang banyak terpengaruh oleh sentimen eksternal," jelasnya di lokasi yang sama.
Tak hanya masalah pendapatan, masalah regulasi pun bisa membantu menarik investasi infratsruktur di Indonesia. Megaproyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) atau regulasi tarif jalan tol dianggapnya bisa menjadi magnet utama investor untuk berinvestasi di sektor infrastruktur.
"Dan bagusnya kebijakan kita lebih jelas. Untuk regulasi jalan tol, contohnya. Kita memberlakukan kepastian perubahan tarif tol setiap 2 tahun sekali. Bandingkan dengan Malaysia, di mana pemerintah ikut intervensi untuk menurunkan tarif tol. Apalagi Filipina, variabel kenaikan tarif tolnya banyak dan timing kenaikannya tak jelas," tuturnya.