KPPU: Dokter Berpotensi jadi Agen Monopoli Obat

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Jumat, 20 Nov 2015 07:44 WIB
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai peluang itu muncul ketika dokter menuliskan resep obat tertentu untuk ditebus oleh pasien.
Ilustrasi obat-obatan. (REUTERS/Srdjan Zivulovic)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menilai dokter bisa menjadi agen praktik monopoli dalam pemasaran produk obat. Peluang itu muncul ketika dokter menuliskan resep obat tertentu untuk ditebus oleh pasien.

“Saya katakan, istilah saya, monopoly by agent. Agent-nya itu dokter. Dokter berperan sebagai agent yang memonopoli,” ujar Komisioner KPPU Munrokhim Misanam ketika ditemui usai menghadiri “Public Hearing Industri Farmasi dalam Perspektif Persaingan Usaha” di Kantor KPPU, Jakarta, Kamis (19/11).

Munrokhim mengungkapkan selama ini apoteker memberikan obat sesuai resep dokter tanpa memberikan rekomendasi obat sejenis lain yang kemungkinan harganya lebih murah kepada pasien. Kondisi demikian, membuat pasien tidak memiliki pilihan atas produk obat yang dikonsumsi.
Di sisi lain, sesuai Pasal 24 huruf b Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, apoteker bisa mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Berarti pharmacist bisa mengganti obat tanpa harus izin dokter asalkan pasien mau. Dalam praktiknya, berdasarkan pengamatan kami, hal itu (penggantian obat) hanya terjadi manakala obat yang diresepkan oleh dokter itu di apotek itu nggak ada,” ujarnya.

Selanjutnya, KPPU akan melakukan pertemuan lanjutan dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), asosiasi apoteker, serta pihak terkait lainnya untuk membahas kembali implementasi PP 51/2009. Dengan demikian, pasien tidak terkondisikan pada situasi pasar monopoli dan tetap memiliki pilihan atas obat yang akan dikonsumsi.

“Misalnya, diresepkan amoxicillin dengan tulisannya dokter, si pharmacist itu diminta atau diwajibkan untuk menginformasikan obat merek dagang lain yang isinya sama dengan begitu maka whatever the doctor prescribed namanya tapi keputusan tetap di tangan pasien berdasarkan atas bimbingan pharmacist,” ujarnya.

Di temui terpisah, Komisioner KPPU Sukarni mengungkapkan dokter bisa menjadi salah satu faktor mahalnya biaya obat yang harus dibayarkan seorang pasien. Hal itu terjadi ketika dokter merekomendasikan resep obat setelah sebelumnya melakukan kesepakatan dengan produsen obat terkait yang memiliki kekuatan untuk menentukan harga.

“Selama ini sering muncul di permukaan itu adalah salah satu penyebab kemahalan adanya hubungan atau interaksi antara si dokter dengan pihak produsen. Itu kan banyak cara ya bagaimana mengikat dokter supaya membuat resep terhadap obat dengan merek-merek tertentu,” tutur Sukarni.

Hingga kini, KPPU masih melakukan pengawasan dan penyidikan terhadap mahalnya harga obat di dalam negeri. KPPU menduga ada tindakan praktik tidak sehat (kartel) yang dilakukan perusahaan farmasi sehingga masyarakat harus menanggung mahalnya harga obat di dalam negeri. (gir/gir)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER