Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said menyatakan masih banyak mafia minyak dan gas bumi yang melakukan berbagai upaya untuk melanggengkan bisnisnya di Indonesia. Para pemburu rente menolak upaya pemerintah memperbaiki sektor migas dan senang bila Indonesia tetap bergantung pada minyak dan gas impor.
Upaya mengacaukan rencana pemerintah menata kembali bisnis migas di Indonesia menurut Sudirman bisa terlihat dari proses pengoperasian kembali kilang Trans Pacific Petroleum Indotama (TPPI), di Tuban, Jawa Timur oleh PT Pertamina (Persero).
"TPPI ini sudah delapan tahun berhenti beroperasi. Hanya dibicarakan dan tidak pernah diputuskan. Ini persoalan mudah sebenarnya, cukup dengan membereskan pasokannya. Namun karena banyak pemburu rente, mereka terus menggagalkan sehingga kita terus tergantung impor," kata Sudirman di kantornya, Jumat (27/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Pemerintah telah memutuskan agar kilang TPPI bisa segera beroperasi sehingga impor BBM bisa ditekan. Manfaatnya bagi Indonesia menurut Sudirman adalah, Pertamina bisa menghemat devisa dari pemangkasan impor BBM sebanyak US$ 2,2 miliar per tahun.
Kemudian untuk semakin mempersempit ruang para pemburu rente, Pertamina mempercepat proses pembangunan Residual Fluid Catalytic Cracking (RFCC) di Kilang Cilacap.
"RFCC dibangun empat tahun lalu sekarang sudah beroperasi penuh, dengan investasi US$ 856 juta atau Rp 11 triliun. Dengan RFCC, kita mengurangi impor premium 15 persen, impor solar kurang 30 persen, dan impor elpiji berkurang 10 persen,” ungkapnya.
Namun, Pakar Hukum dan Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Irine Handika menghendaki Menteri ESDM tidak hanya fokus dalam memberantas pemburu rente di sektor impor minyak mentah dan BBM. Sebab di bisnis gas pipa masih banyak pemburu rente yang bermain.
Mafia GasIrine menilai kebijakan Sudirman yang menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2015 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan Serta Harga Gas Bumi untuk membatasi ruang gerak mafia gas sudah cukup bagus.
Namun di lapangan, Permen tersebut mendapat kritikan dari Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kardaya Warnika yang menyebut aturan menteri berseberangan dengan Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
Menurut Kardaya, UU Migas tidak mengatur adanya kewajiban pelaku usaha untuk memiliki infrastruktur pipa gas, maka para pelaku usaha semestinya tetap diperbolehkan untuk melanjutkan usahanya.
“UU masih bolehkan (pelaku usaha) gak punya (infrastruktur). Kita kan mesti ikut UU. Kalau mau dilarang, UU-nya mesti ada dulu," ungkap Kardaya, kemarin.
Menanggapi pernyataan Mantan Kepala BP Migas tersebut, Irine meminta Menteri ESDM harus konsisten dalam menerapkan aturan. Jangan karena tekanan pihak tertentu termasuk Komisi VII, kemudian tiba-tiba melakukan revisi kembali atas Permen yang telah dibuatnya.
Jika masih banyak perusahaan penjual gas yang hanya mengandalkan kertas dan lobi, sulit bagi pemerintah untuk melakukan konversi ke gas bumi. Irine menilai biaya pembangunan infrastruktur gas sangat mahal dan butuh waktu lama untuk mengembalikan modal.
"Pemerintah harus konsisten dan menjaga wibawa. Apalagi Permen ini baru saja dikeluarkan. Permen itu sudah sangat baik. Alokasi gas hanya diberikan kepada perusahaan yang memang seharusnya mendapat alokasi gas, bukan kepada trader gas bermodal kertas alias calo gas dan tidak punya infrastruktur,” tegas Irine.
Ketua Komisi VII DPR, kata Irine, tidak bisa begitu saja mengusulkan dan mengubah suatu aturan yang dibuat lembaga eksekutif.
"Karena di PP yang ada pelaku trading tidak wajib bangun fasilitasi, bahkan pemilik fasilitas eksisting harus 'share' kapasitasnya dengan mereka. Ini yang membuat pembangunan fasilitas pipa stagnan, tetapi justru mata rantai usaha niaga jadi tambah panjang. Akibatnya harga semakin mahal dan memperbesar gap willingness to pay," tegasnya.
Pengamat Energi Marwan Batubara juga meminta Menteri ESDM tetap konsisten dengan aturan yang telah dibuat. "Aturan itu sudah tepat. Mestinya alokasi diberikan kepada BUMN sesuai prinsip penguasaan negara," katanya.
Marwan tegas mengatakan, setiap sektor energi primer termasuk gas bumi harus merujuk pada pasal 33 UUD 1945. Artinya pemanfaatan gas harus digunakan untuk kepentingan rakyat banyak. Dan itu bisa dilakukan melalui BUMN dan BUMD sebagaimana diatur dalam Permen Nomor 37.
Sebelum regulasi ini diterbitkan, kata Marwan, alokasi gas justru melahirkan trader bertingkat yang berujung pada mahalnya harga gas. Karena itu sesuai UUD 45, alokasi gas harus diserahkan kepada BUMN. Setelah itu diterapkan monopoli alamiah.
(gen)