Lupakan Freeport, Pemerintah Diminta Fokus ke Perkebunan

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Senin, 30 Nov 2015 08:13 WIB
Pengamat Ekonomi Politik Riza Damanik menilai sektor pertanian dan perkebunan seperti industri tembakau lebih berkontribusi dibandingkan sektor pertambangan.
Petani tembakau di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah tengah melakukan proses sakring atau menghambat pertumbuhan tunas air/tunas samping pada tanaman tembakau, Sabtu (22/8). (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah diminta tidak lagi fokus pada sektor industri ekstraktif atau pertambangan yang rentan terhadap gejolak harga dunia. Pengamat menilai pemerintah sebaliknya fokus mengembangkan industri perkebunan dan pertanian yang memberi manfaat lebih besar bagi negara.

Pengamat Ekonomi Politik Riza Damanik menilai ribut-ribut soal perpanjangan kontrak Freeport tidak terlalu berguna karena kontribusi Freeport dari sisi pajak, hingga serapan tenaga kerja kalah jauh dibanding sektor pertanian dan perkebunan seperti industri hasil tembakau (IHT).
Ia mengatakan sektor ekstraktif merupakan industri padat modal yang berusaha seminimal mungkin menyerap tenaga kerja. Karena itu, industri tersebut susah diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

“Bedanya dengan sektor perkebunan, misalnya IHT yang mampu menyerap hingga 6 juta pekerja langsung dan jutaan orang yang terkait di dalamnya,” jelas Riza saat dihubungi, Minggu (29/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Riza mengungkapkan, jika dibandingkan dengan seluruh badan usaha milik negara (BUMN) pemilik nilai industri Rp 1.890 triliun yang hanya mampu membayar pajak sebesar Rp 160 triliun atau industri farmasi senilai Rp 307 triliun yang cuma membayar pajak Rp 3 triliun, setorang IHT terbilang lebih besar.

Asal tahu saja, Riza menjelaskan, pabrik rokok dengan nilai industri sebesar Rp 248 triliun, setoran cukai-nya bisa mencapai Rp 131 triliun per tahun atau 52,7 persen terhadap nilai industri.

Sementara Freeport, dalam rapat dengar pendapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu diketahui selama kurun empat tahun belakangan ini, setor ke pemerintah berupa pajak, royalti dan dividen sebesar Rp 487 triliun. Atau hanya sebesar Rp 122 triliun saja per tahun.

“Inilah ironisnya. IHT mampu bayar cukai Rp 131 triliun dan kalau digabung dengan pajak-pajak lainnya, bisa mencapai Rp 200 triliun. Sementara Freeport hanya Rp 122 triliun per tahun. Itupun kalau dibandingkan kerusakan alam yang terjadi akibat penambangan, tentu tidak sebanding,” kritik Riza.

Riza menambahkan, kontribusi pertambangan terhadap pendapatan daerah di wilayah Timur juga secuil sementara keuntungan perusahaan lebih banyak dibawa ke luar negeri ketimbang diinvestasikan kembali di Indonesia. Sementara sektor perkebunan, perikanan, dan pertanian merupakan sektor ekonomi berkelanjutan yang melibatkan jutaan orang, dan lebih menciptakan pemerataan ekonomi.


Perombakan Regulasi


Dengan data kontribusi besar dari sektor IHT, Riza menegaskan, pemerintah jangan lagi melulu mengedepankan industri ekstraktif seperti Freeport. Karena notabene Freeport hanya memperparah ketimpangan ekonomi, terutama di Papua.

Ia mengingatkan, orientasi ekonomi pemerintah harus menyasar hajat hidup orang banyak dan berbasis ekonomi berkelanjutan bukan semata kepentingan lima tahunan. Kemudian, setiap kebijakan regulasi yang dikeluarkan pemerintah seperti kebijakan cukai harus selalu memperhatikan kemampuan dan daya dukung industri dan tidak boleh semata mengedepankan kepentingan jangka pendek.

"Juga harus ada perombakan di sektor perbankan. Mobilisasi finansial perbankan melulu ke sektor ekstraktif. Ini harus ubah ke sektor perkebunaan, peternakan, dan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) karena para krediturnya tidak akan kabur ke Singapura," tandas Riza. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER