Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/ UN) mengklasifikasikan kejahatan pencurian ikan (
illegal, unreported, unregulated fishing/ IIU
fishing) menjadi kejahatan lintas negara yang terorganisir (
trans national organized crime). Hal itu dilakukan untuk membantu memberantas aktivitas ilegal itu.
“Kalau itu sudah masuk ke dalam
trans national organized crime, UN
declares itu, kerjasama seluruh dunia itu akan memudahkan dalam sharing data dan saling bantu
enforcement,” kata Menteri KKP Susi Pudjiastuti dalam Lokakarya Internasional tentang Perlindungan HAM pada Usaha Perikanan di Indonesia di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (30/11).
Susi mengungkapkan kelompok pelaku IUU fishing cenderung memperkerjakan ABK Indonesia di perairan luar seperti di Selandia Baru, Afrika, hingga Kanada. Sementara, kapal eks asing yang beroperasi di perairan nasional memperkerjakan ABK asing, seperti ABK asal Myanmar maupun asal negara lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Berdasarkan hal tersebut, bisa dilihat bahwa itu adalah sindikat di organisasi lintas negara yang besar, bukan organisasi kecil,” ujarnya.
Aktivitas pencurian ikan, lanjut Susi, juga terkait dengan kejahatan kemanusiaan seperti perbudakan modern dan perdagangan manusia. Susi memperkirakan ada sekitar 2-3 ratus kapal yang beroperasi secara ilegal di dunia. Adapun jumlah anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di industri perikanan di seluruh dunia diperkirakan ada sekitar 210 ribu.
“Tapi saya percaya ada sekitar 40-50 persen ABK (Indonesia) di luar sana yang tidak terdaftar yang cenderung menjadi korban perdagangan manusia dan perbudakan,” ujarnya.
Selain itu, Susi menyatakan aktivitas ilegal tersebut juga bisa dijadikan kendaraan penyelundupan obat-obatan terlarang dan hewan yang dilindungi. Tak hanya itu, pencurian ikan ilegal juga mengancam keberlangsungan sumber daya maritim dan perubahan iklim.
61 Ribu ABK Indonesia di Selandia BaruLebih lanjut, terkait hal tersebut Susi juga menemukan bahwa sekitar 61 ribu ABK Indonesia bekerja di kapal-kapal milik Korea Selatan dan Taiwan di Laut Teritorial Selandia Baru (New Zealand). Namun, Susi tidak mau terburu-buru menyatakan hal tersebut adalah hasil perbudakan ataupun perdagangan manusia.
“Apakah mereka semua korban
trafficking kita belum tahu tapi dari investigasi awal banyak dari mereka yang dapat perlakuan sangat tidak pantas atau manusiawi,” ujarnya.
Susi mengaku telah berbicara dengan pemerintah Selandia Baru melalui perwakilannya di Indonesia terkait hal tersebut. Duta Besar Selandia Baru Trevor Matheson, lanjut Susi, berjanji tahun depan kapal eks asing yang beroperasi di perairan Selandia Baru harus teregistrasi.
“Jadi nanti seluruh ABK dan kegiatan bisnis daripada kapal-kapal carter eks asing yang ada di Selandia Baru harus sesuai dengan hukum-hukum undang-undang tenaga kerja,” ujarnya.
(gir/gir)