Jakarta, CNN Indonesia -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meminta PT Angkasa Pura II (Persero) tidak menerapkan skema
first in first out (FIFO) atau antrean di dalam pengelolaan taksi Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pasalnya, standar pelayanan operator taksi di Indonesia masih belum merata dan bisa merugikan konsumen.
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI mengatakan jika skema FIFO tetap diterapkan di Soekarno-Hatta, maka manajemen Angkasa Pura II (AP II) bisa dianggap memerkosa hak memilih layanan taksi setiap calon penumpang yang ada di bandara.
"Hak memilih konsumen untuk pelayanan taksi sama saja dilanggar jika skema FIFO diterapkan AP II. Saya kira belum waktunya AP II menerapkan skema FIFO ini," kata Tulus, Senin (30/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tulus mengatakan, sebelum menerapkan skema antrean taksi, seharusnya AP II terlebih dahulu memasang standar layanan yang jelas dan tinggi untuk setiap operator taksi yang beroperasi bandara.
"Karena Soekarno-Hatta adalah pintu masuk internasional, maka layanannya termasuk taksi harus menjadi acuan bagi bandara-bandara lain di Indonesia," katanya.
Setelah menerapkan standar yang jelas, kata Tulus, AP II juga ditantang memberikan sanksi tegas untuk operator taksi yang terbukti melanggar atau berbuat curang.
"Berani tidak pihak bandara melakukan hal tersebut? Lagipula sebenarnya yang mendesak bukan skema FIFO, tapi membersihkan bandara taksi gelap yang meresahkan masyarakat," tegasnya.
Seperti diketahui, jika tidak ada aral melintang, rencananya skema antrean taksi FIFO bakal diujicobakan manajemen AP II pada akhir Desember 2015.
Budi Karya Sumadi, Direktur Utama AP II mengatakan hingga saat ini belum ada penolakan dari sejumlah pengusaha taksi mengenai skema FIFO tersebut. Justru dengan FIFO akan lebih adil bagi semua perusahaan taksi.
"Kenapa harus ditolak? FIFO itu common use di bandara internasional, karena tujuannya pemerataan. Di Singapura saja sudah diberlakukan," kata Budi.
Menurut mantan Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk tersebut, selain itu penumpang juga diuntungkan karena tidak harus menunggu lama untuk langsung mendapatkan taksinya.
"Manajemen AP II baru mengevaluasi penerapan FIFO yang baik seperti apa. Jangan sampai ada yang dirugikan baik dari penumpang maupun perusahaan taksi. Jangan sampai kami membuat aturan yang salah dan tidak adil," ujarnya.
Sebelum menerapkan skema FIFO, AP II juga akan melakukan penataan layanan taksi di Soekarno-Hatta, misalnya syarat umur maksimal armada untuk dapat beroperasi, sampai standar kualitas pelayanan sopir.
"Nantinya akan tereliminasi yang terjelek taksinya. Jadi kemungkinan baru 20 Desember 2015 diterapkan," katanya.
Sementara Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagyo mengatakan masyarakat akan memilih taksi yang telah dikenal memiliki kualitas layanan baik demi kenyamanan dan keamanan mereka.
Sementara itu, sistem FIFO mengharuskan masyarakat untuk naik taksi apa pun yang datang terlebih dahulu ke area pengangkutan penumpang di bandara.
"Karena itu, FIFO tidak bisa dilakukan karena masyarakat atau penumpang di bandara punya hak memilih di mana mereka tidak bisa dipaksa naik taksi tertentu. Hak memilih itu sejalan karena taksi di Jakarta banyak yang kualitasnya jelek, karena itu mereka memilih yang bagus," jelas Agus.
Sampai Oktober 2015, di Bandara Soekarno-Hatta terdapat sembilan perusahaan taksi yang mengoperasikan sedikitnya 5 ribu unit taksi, yang dapat mengangkut penumpang di bandara tersibuk di Indonesia itu.
Agus menuturkan pengelola bandara tidak dapat disalahkan apabila masyarakat sebagian besar hanya memilih beberapa taksi saja dari yang ada di bandara, karena memang saat ini tidak seluruh operator memberikan pelayanan berkualitas baik. Pemerintah, katanya, harus berupaya untuk membuat taksi di Jabodetabek memiliki kualitas yang sama.
"Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan harus bisa memberikan sanksi kepada taksi yang melanggar, menipu, atau berbuat kriminal, supaya ada perbaikan citra melalui peningkatan pelayanan," tambah Agus.
(gen)