Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah pihak menilai PT Freeport Indonesia seharusnya mematuhi ketentuan kontrak yang ada. Saat ini dinilai hanya ada dua opsi bagi Pemerintah untuk menyelesaikan sengkarut perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang akan habis masanya pada 2021 mendatang.
Menurut Direktur Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, kedua opsi tersebut adalah melakukan perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia dengan syarat, atau menunda pembahasan perpanjangan kontrak karya hingga Undang-Undang Mineral dan Batu Bara direvisi.
"Sekarang ada dua pilihan, apakah ingin melanjutkan apa yang sudah diinisiasi Presiden Jokowi (perpanjang kontrak karya Freeport Indonesia dengan syarat) atau tidak berbicara perpanjangan kontrak sampai UU Minerba diubah," kata Marwan di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (5/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa persyaratan harus dimasukan dalam pembahasan perpanjangan kontrak karya Freeport di Indonesia. Marwan menyatakan, persyaratan itu harus diajukan agar Pemerintah mampu optimal mendapatkan manfaat dari kehadiran Freeport di Indonesia.
"Kita mencatat hal-hal penting yang harus diperjuangkan, yaitu pajak harus dioptimalkan, royalti dinaikkan, dividen, dan pengelolaan ditingkatkan," ujarnya.
Sesuai isi perjanjian perpanjangan kontrak karya 1980-an silam, Freeport Indonesia diketahui wajib membayar royalti sebesar 1 persen kepada Pemerintah. Sementara, sejak 2014, besaran royalti untuk tembaga, emas dan perak telah ditingkatkan menjadi 4 persen, 3,75 persen dan 3,25 persen bukan 1 persen.
Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Ladjiman Damanik, jumlah royalti yang dibebankan kepada Freeport Indonesia saat ini tidak adil bagi pengusaha mineral dan tambang lain.
"Ketidakadilan terjadi, bahwa misalnya royalti Freeport Indonesia hanya harus bayar 1 persen, padahal yang lain lebih dari itu. Pemerintah harus adil untuk kepentingan bangsa," kata Ladjiman.
(gir)