Jakarta, CNN Indonesia -- Harga gas di Indonesia yang rata-rata berada di kisaran US$7,7-10 per juta
british thermal unit (MMBTU) dinilai sulit untuk diturunkan akibat tingginya margin yang dipatok oleh perusahaan pedagang gas serta besarnya porsi bagi hasil yang diminta pemerintah.
Selain itu, rendahnya efisiensi dalam pembangunan infrastruktur dan monopoli terselubung perusahaan pedagang gas juga dinilai turut membuat harga gas di Indonesia relatif lebih tinggi dibanding negara lain.
Pengamat Gas Hari Karyuliarto menilai harga gas di Indonesia diperjualbelikan dengan skema harga lama dan harga baru. Pada skema lama, harga jualnya sampai ke konsumen ada yang hanya US$2,5-3 per MMBTU karena perusahaan penjualnya sudah tidak menghitung biaya eksplorasi, namun hanya perlu menutupi biaya operasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tetapi untuk lapangan yang baru sudah tidak mungkin harga gas bisa sampai ke harga tersebut karena ada ongkos produksi dan eksplorasi,” ujar Hari di Jakarta, Selasa (29/12).
Oleh karena itu, meskipun harga minyak dunia saat ini terus turun, sulit bagi perusahaan gas untuk bisa menurunkan harga jualnya hingga US$ 5 per MMBTU. Untuk itu, cara yang memungkinkan untuk membuat harga gas turun adalah pemerintah bersedia menurunkan penerimaan negara dari transaksi jual beli gas maupun dari bagi hasil gas. Sebab pelaku usaha tidak mungkin mau menurunkan margin keuntungannya.
“Tetapi kalau dibilang harga gas saat ini bisa turun hingga US$2-3 per MMBTU sebenarnya suatu yang tidak mungkin, kecuali perusahaan yang lapangan sudah berumur 10 tahun karena tidak ada lagi biaya eksplorasi,” ujar Hari.
Selain menanti kesediaan pemerintah memangkas jatahnya, cara lain yang bisa dilakukan adalah melakukan pembenahan dari sisi pembangunan pipa dan terminal gas. Sebab Hari mencatat masih banyak perusahaan gas tanpa infrastruktur di Indonesia yang hanya fokus mengambil margin tinggi. Karena itu dia mendorong pemerintah untuk mengambil sikap tegas dengan mencabut izinnya.
“Untuk mendorong ketersediaan infrastruktur gas yang memadai, Pemerintah juga harusnya mewajibkan perusahaan
trader untuk menyediakan infrastruktur seperti membangun pipa,” katanya.
Margin JumboMenurut Hari, margin keuntungan perusahaan gas yang ideal berkisar di angka US$50-90 sen per MMBTU dengan
internal rate of return (IRR) berkisar 11-14 persen. Pasalnya ada perusahaan pedagang gas yang mengambil IRR hingga 30 persen.
“Selama ini ada
trader yang mengambil margin keuntungan besar sekali antara US$3-4 per MMBTU. Mereka membeli dari perusahaan gas US$5 per MMBTU dan menjualnya di harga US$9 per MMBTU,” ujarnya.
Padahal, menurut catatan, khusus untuk harga gas di Sumatera Utara, PT Pertamina Gas dan pemerintah justru terpaksa menurunkan harga gas karena menghapus margin dalam struktur pembentukan toll fee dan menurunkan biaya regasifikasi. Di sisi lain, pemerintah juga telah memotong penerimaan di sisi hulu untuk Pangkalan Susu Field dari semula harganya US$ 8,24 per MMBTU menjadi US$ 6,24 per MMBTU.
Sementara PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) yang 56 persen sahamnya dimiliki pemerintah, sejauh ini belum melakukan perubahan banyak di biaya distribusi yang masih tetap US$1,44 per mmbtu + Rp750 per meter kubik.
Penurunan harga sebesar US$0,55 per MMBTU yang diklaim PGN sebelumnya hanya berupa kebijakan penggunaan dua mata uang agar konsumen terhindar dari kerugian kurs.
Selain itu, menurut Hari, terminal gas juga harus lebih efisien. Dia mencontohkan
Floating Storage Regasiffication Unit (FSRU) Lampung yang dimiliki PGN yang mahal dibandingkan dengan yang dimiliki oleh PT Nusantara Regas. “Implikasinya
landed price ke PLN dan perusahaan petrokimia dan pupuk akan lebih mahal,” katanya.
Hari juga mendesak pemerintah untuk menertibkan
trader sehingga harga yang sampai ke industri benar-benar harga yang sesuai. Apalagi kalau itu dilakukan oleh BUMN yang tidak seluruhnya sahamnya oleh pemerintah.
“Harusnya pemerintah lebih bisa mengendalikannya. Penataan di sektor
midstream menjadi sangat penting dilakukan sehingga lebih efisien untuk mendapatkan harga yang lebih pas,” katanya.
Hari menyarankan untuk jangka panjang sebaiknya dilakukan perubahan formula harga gas dari formula saat ini yakni
fix price menjadi harga yang dihubungkan dengan harga minyak. Harga gas akan naik dan turun dengan mengikuti harga minyak. Tetapi pemerintah juga menetapkan harga batas bawah misalkan diangka US$3-4 per MMBTU di atasnya mengikuti harga minyak.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyatakan banyaknya perusahaan pedagang gas yang tak memiliki infrastruktur membuat harga gas bumi di Indonesia menjadi mahal. Pasalnya, para
trader ini hanya berperan sebagai broker.
Para
trader ini hanya mencari rente dari penjualan gas bumi. Akibatnya rantai pasokan gas menjadi panjang dan harganya mahal, bahkan ada harga gas yang dijual US$12 per MMBTU padahal di luar negeri harga gas US$3-4 per MMBTU.
Rizal mendukung kebijakan Kementerian ESDM yang mewajibkan setiap pemegang izin usaha niaga gas bumi untuk membangun infrastruktur. Rizal berpendapat bahwa Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2015 entang Ketentuan dan Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi sudah tepat.
Beleid tersebut melarang penjualan berlapis, pemegang izin usaha niaga gas (
trader) harus menjual langsung ke pengguna sehingga mau tak mau
trader harus membangun infrastruktur untuk mengirimkan gas ke pengguna.
Andy Noorsaman Sommeng, Kepala Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas mengatakan setuju dengan pernyataan Rizal Ramli karena tata kelola niaga gas yang tidak baik. Dia juga sudah mengusulkan agar Permen No 19 Tahun 2009 soal harga gas ditentukan oleh badan usaha untuk direvisi. “Saya sudah minta agar permen itu diubah oleh Kementerian ESDM melalui Ditjen Migas,” ujarnya.
(gen)