Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan pemerintah untuk menunda pengambilan keputusan atas fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) dari Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku dikhawatirkan akan membuat investor mempertimbangkan kembali niatnya berinvestasi di Indonesia. Terlebih apabila rencana awal pembangunan fasilitas regasifikasi di laut diubah menjadi di darat yang belum memiliki hasil kajian memadai.
Pengamat Energi Fabby Tumiwa mengatakan sesuai permintaan pemerintah Indonesia, Inpex Corporation sebagai operator Blok Masela telah melakukan kajian terhadap opsi terbaik pengembangan lapangan gas Abadi sejak 2010. Dari hasil kajiannya, akan lebih baik dari sisi keekonomian proyek apabila fasilitas tersebut dibangun di laut (
floating LNG/FLNG) dibandingkan dibangun di darat.
Belum lama ini, pemerintah kembali meminta konsultan independen Poten & Partners untuk mengkaji ulang keekonomian proyek Masela.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Hasil kajian independen untuk memastikan pilihan tersebut sama saja, FLNG adalah opsi terbaik,” kata Fabby, Rabu (6/1).
Dalam melakukan kajian pada 2010 lalu, Inpex menurut Fabby telah menggunakan jasa konsultan internasional yang dibantu oleh akademisi dari Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Surabaya (ITS).
Hasil kajian UI menurutnya menunjukkan FLNG memberikan PDB sebesar US$126,3 miliar dibandingkan US$122 miliar jika dibangun di darat kepada negara. Selain itu, penerimaan negara diproyeksi bisa mencapai US$51,8 miliar dengan mengizinkan fasilitas tersebut terapung di laut, dibandingkan US$42,3 miliar bila dibangun di darat.
Belum lagi, manajemen Inpex sudah memberi jaminan akan memasok gas ke dalam negeri sebesar 25 persen dari produksinya. Selain itu perusahaan asal Jepang itu juga akan membangun
supply base di Pulau Saumlaki.
Oleh karena itu, Fabby meminta pemerintah untuk tidak salah mengambil keputusan yang bisa berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia. Terutama di saat kondisi investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) tengah lesu karena rendahnya harga minyak dunia.
“Hal itu juga dirasakan oleh investor yang akan menanamkan investasi hingga US$ 15 miliar, karena segala risiko yang terjadi dalam proyek nantinya yang menanggung adalah pihak investor bukan pemerintah,” jelasnya.
Sementara bila pemerintah terlambat mengambil keputusan, maka justru akan mengancam ketersediaan pasokan gas domestik serta menurunkan investasi hulu migas di kemudian hari.
“Pemerintah juga dapat mengalami
opportunity loss of revenue yang seharusnya bisa digunakan untuk mendanai pembangunan”, kata Fabby.
Minim KajianPada kesempatan yang sama, Fabby mengkritik pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang memberikan rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar proyek kilang Blok Masela dibangun di darat untuk memberikan efek turunan lebih besar bagi masyarakat.
“Konsep tentang pengembangan kewilayahan dan
multiplier effect itu hanya berdasarkan hipotesis, bukan berdasarkan kajian ilmiah. Lantas siapa yang mau membangun pabrik kimia, pabrik pupuk, di Saumlaki atau Tanimbar? Sudah ada atau belum investornya?” tegasnya.
Ia justru berpendapat efek turunan jika kilang dibangun terapung di laut akan jauh berdampak positif bagi pengembangan industri maritim Indonesia dan industri pendukungnya. Selain itu alokasi gas wajib pasok dalam negeri (DMO) juga bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan gas industri.
“Kalau sampai Masela terlambat berproduksi maka pasokan gas ke dalam negeri pada tahun 2021 dan seterusnya akan terancam”, tegas Fabby.
Ia berpendapat, efek turunan dari suatu proyek investasi dan pengembangan kewilayahan sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah yang tidak bisa dibebankan kepada investor.
“Tugas investor adalah membawa uang, teknologi, keahlian, sampai minyak atau gas-nya berproduksi,” katanya.
(gen)