Jakarta, CNN Indonesia -- Tarik ulur negosiasi harga uap untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang unit 1, 2, dan 3 di Jawa Barat antara PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) dengan PT PLN (Persero) dinilai hanya akan menghambat pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Tanpa penetapan harga yang adil oleh pemerintah, pengembangan energi non fosil jalan di tempat.
Suryadarma, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) mengatakan kasus PLN yang ngotot membeli murah harga uap panas bumi makin memperlihatkan bahwa masalah harga panas bumi tidak bisa diserahkan melalui mekanisme bisnis antar kedua badan usaha pelat merah. Negosiasi antar perusahaan dengan dua kepentingan yang berbeda, tidak akan bisa menghasilkan kesepakatan harga yang memuaskan kedua pihak.
“Sebaiknya harga panas bumi ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan harga yang berlaku untuk berbagai lapangan panas bumi. Ada kaidah harga yang berlaku secara internasional,” kata Suryadarma, Kamis (7/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika membiarkan kondisi berlanjut seperti sekarang, Suryadarma menilai yang akan dirugikan adalah produsen karena begitu PLN tidak mau beli, maka pasokan listrik akan terganggu.
“Pemerintah harus berpikir menyelamatkan keadaan ini dengan membentuk BUMN khusus sebagai offtaker EBT. Tak bisa PLN membandingkan harga panas bumi komersil dengan lapangan Mataloko yang seluruhnya dibiayai APBN untuk eksplorasi dan pengembangannya. Apalagi dengan Tulehu yang sampai saat ini belum berproduksi,” katanya.
Ditinggal InvestorSementara Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Abadi Purnomo mengaku sengketa harga panas bumi bisa membuat calon investor di sektor tersebut membatalkan niatnya berinvestasi. Padahal pemerintah saat ini sedang menggenjot pengembangan EBT untuk mengurangi penggunaan energi fosil.
Abadi mengatakan bila benar PLN meminta penurunan harga beli uap untuk PLTP Kamojang sampai ke harga US$4 sen per kilowatt hour (kWh), maka hal tersebut bisa menjadi preseden buruk.
“Inilah dampak single offtaker yang tetap berpatokan pada least cost tanpa memikirkan dampak lingkungan. Bila kondisinya demikian, bagaimana dengan komitmen untuk mereduksi gas rumah kaca?” kata Abadi.
Ia menilai pengembangan panas bumi sebagai sumber EBT membutuhkan waktu lama dan risiko yang sangat besar. Modal akan kembali dalam jangka waktu lama sehingga investor kurang tertarik menjajaki usaha ini. Akibatnya hanya sedikit investor yang tertarik mengembangkan energi panas bumi di Indonesia.
“Selama policy PLN demikian, EBT tidak akan berkembang dan target bauran energi 23 persen yang diamanatkan Komisi Energi Nasional (KEN) tidak akan tercapai,” ujarnya.
PLN diketahui hanya menyanggupi pembelian uap dari panas bumi wilayah kerja Kamojang untuk PLTP Kamojang 1, 2, 3 yang dikelola anak usahanya PT Indonesia Power sebesar US$4 sen per KWh atau sekitar Rp535.
Manajer Senior Hubungan Masyarakat PLN Agung Murdifi menyatakan kesanggupan harga beli uap untuk PLTP Kamojang 1, 2, 3 itu dengan mengkaji sejumlah PLTP di luar Jawa.
Padahal sebelumnya PLN telah sepakat untuk meneken interim agreement sejak 2014. Dalam interim tersebut, PGE mengajukan harga jual uap panas bumi untuk PLTP Kamojang 1 berkapasitas 30 Megawatt (MW), Kamojang 2 berkapasitas 55 MW dan Kamojang 3 sebesar 55 MW dengan harga acuan US$7 sen per kWh. Harga ini mengacu pada formula harga Pertamina Marine Fuel Oil. Sementara PLN mengusulkan harga US$3,3 per kWh. Negosiasi terakhir PGE dengan PLN terjadi pada 13 November 2015.
Namun, belakangan PLN tak bersedia memperpanjang interim agreement sehingga perjanjian jual beli uap Kamojang berakhir kembali ke kontrak awal perjanjian jual beli uap. Hal ini juga terjadi untuk pembelian listrik dari PLTP Kamojang 4 (berkapasitas 60 MW) yang dikelola PGE dan PLTP Lahendong berkapasitas 4x20 MW.
Harga listrik yang diusulkan PGE untuk Kamojang 4 adalah US$10 sen per kWh, namun PLN meminta harganya ditekan sampai US$5 sen per kWh. Sedangkan harga listrik dari Lahendong, PGE mengusulkan US$11 tapi PLN mengusulkan dipangkas menjadi di kisaran US$2,69 hingga US$5,34 sen per kWh untuk masing-masing pembangkit.
Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina menyatakan pengembangan panas bumi membutuhkan investasi tidak hanya untuk eksplorasi dan pengembangan pembangkit, tapi juga untuk pemeliharaan.
“Hal ini dapat dicapai apabila investor, produsen, dan pengembang mendapatkan harga yang wajar dan layak untuk kelanjutan investasi panas bumi di masa datang,” katanya.
Pertamina sendiri disebutnya memiliki komitmen untuk mengembangkan sekitar 11 proyek pada tujuh wilayah kerja panas bumi hingga memiliki kapasitas 907 MW pada 2019 atau bertambah sekitar 470 MW dari saat ini 437 MW dengan total investasi US$2,5 miliar.
“Dengan kapasitas pembangkit bumi 3,15 GW sama dengan penghematan 137.200 barel setara minyak per hari atau 7,96 juta kiloliter setara minyak per tahun,” katanya.
Menurut Wianda, pengembangan panas bumi tersebut sejalan dengan amanat Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Di mana EBT akan memegang porsi sebesar 23 persen terhadap total bauran energi nasional.
Optimalisasi pemanfaatan panas bumi juga sesuai degan COP 21 United Nations Climate Change Conference, yang mengamanatkan pengurangan emisi sebesar 29 persen.
“Indonesia saat ini tercatat mengeluarkan emisi sebesar 1,2 miliar ton setiap tahun,” katanya.
Untuk mendukung keberlanjutan pengembangan panas bumi di Indonesia, Pertamina mengajak PLN untuk kembali memperpanjang kesepakatan interim harga uap yang dialirkan ke PLTP Kamojang 1, 2, dan 3 melalui surat yang disampaikan pada 31 Desember 2015.
Pertamina menurutnya menyanggupi untuk terus memasok uap PLTP tersebut dengan harga minimal US$6,2 sen per kWh.
"Apabila hingga 1 Februari 2016 PLN tidak memberikan sanggahan, maka Pertamina dapat menilai PLN menyetujui akan inisiatif tersebut dan Pertamina akan terus memasok uap untuk ketiga PLTP yang berkapasitas total 140 MW," katanya.