Jakarta, CNN Indonesia -- Indeks Dow Jones jatuh 365 poin atau 2,21 persen pada perdagangan Rabu (13/1), terutama didorong oleh kekhawatiran tentang risiko pelemahan harga minyak yang sedang berlangsung dan pengaruh devaluasi mata uang yuan. Sementara indeks S&P 500 turun 2,5 persen dan Nasdaq anjlok 3,4 persen.
Seperti dikutip dari
CNNMoney, ketiga indeks tersebut saat ini masuk ke dalam area koreksi, dan telah jatuh 10 persen atau lebih dari level puncak terakhir. Dow Jones, misalnya, mencapai level tertinggi sepanjang masa dari 18.351 pada tanggal 19 Mei 2015 dan sekarang turun 12 persen dari level tersebut.
“Karena harga minyak terus melayang-layang di sekitar level terendah, hal itu memberikan tekanan pada ekuitas," kata Art Hogan, kepala strategi pasar di Wunderlich Securities.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Harga minyak jatuh di bawah US$30 per barel pada Selasa (12/1) untuk pertama kalinya dalam 12 tahun. Pada hari Rabu, harga minyak melayang sekitar US$30,40. Ketidakpastian harga minyak menyebabkan saham energi di S&P 500 menurun 1,7 persen pada Rabu.
Saham perusahaan energi, Freeport-McMoRan (FCX) dan Marathon Oil (MRO) adalah beberapa di antara yang kinerjanya terburuk pada Rabu lalu, keduanya anjlok sekitar 9 persen.
Bukan hanya itu saja, volatilitas juga mengguncang beberapa sektor saham berkinerja terbaik tahun lalu, yaitu teknologi dan barang konsumsi.
Saham Netflix (NFLX, Tech30) amblas 8,6 persen, saham Amazon (AMZN, Tech30) turun hampir 5,8 persen dan saham Google (GOOG) turun sekitar 3,4 persen. Secara keseluruhan, sektor saham teknologi jatuh 3,5 persen.
Saham juga mengalami guncangan. Saham Starbucks (SBUX) turun 2,7 persen, saham Home Depot (HOME D) turun 4,8 persen dan saham McDonalds (MCD) turun 2 persen. Sementara saham hotel seperti Marriott (MAR) dan Host Hotel dan Resorts (HST) keduanya jatuh lebih dari 6 persen.
Faktor lainnya yang menaungi kinerja saham AS adalah perlambatan ekonomi China dan ketidakpastian atas berapa banyak mata uangnya, yuan, akan mengalami devaluasi.
Sementara sejak awal tahun 2016, yuan telah melemah 1,2 persen dari nilainya terhadap dolar AS. Yuan bukan mata uang berkinerja terburuk, tetapi pelemahannya memaksa mata uang lainnya untuk melakukan devaluasi juga, meningkatkan kekhawatiran tentang kesehatan ekonomi global yang sudah babak belur.
"Kekhawatiran terbesar yang telah datang ke tahun berikutnya adalah apa yang dilakukan China dengan mata uang mereka," kata Hogan.
(gir)