BI Rate Turun Tipis, Faisal Basri Sebut Petinggi BI Aneh

Gentur Putro Jati | CNN Indonesia
Sabtu, 16 Jan 2016 12:44 WIB
Ekonom Faisal Basri menilai dengan laju inflasi yang cenderung rendah sekarang ini, BI seharusnya berani menurunkan lebih besar lagi.
Ekonom Faisal Basri menilai Bank Indonesia saat ini dipimpin oleh orang-orang yang paling konservatif jika dilihat dari perilakunya menetapkan BI rate. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Jakarta, CNN Indonesia -- Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 basis poin menjadi 7,25 persen kemarin (14/1), mengusik Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri. Ia menilai dengan laju inflasi yang cenderung rendah sekarang ini, BI seharusnya berani menurunkan lebih besar lagi.

Faisal menyebut inflasi pada Desember 2015 sudah menunjukkan kecenderungan menurun dan bisa jadi merupakan titik terendah sepanjang tahun lalu. Sebab ia menilai dampak naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) pada November 2014 terhadap inflasi sudah sirna.

“Bahkan sejumlah petinggi BI beberapa kali mengatakan kemungkinan laju inflasi 2015 bisa di bawah 3 persen atau setidaknya mengarah ke 3 persen. Tetapi mengapa hanya turun 25 basis poin?” ujar Faisal dalam blognya, dikutip Sabtu (16/1).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas menilai, BI saat ini dipimpin oleh orang-orang yang paling konservatif jika dilihat dari perilakunya menetapkan BI rate.

“Selama kepemimpinan Gubernur BI sekarang, BI rate sudah enam kali naik dan dua kali turun. Keputusan penaikan BI rate oleh Gubernur BI yang sekarang total mencapai 175 basis poin,” kata Faisal.

Alasan Eksternal

Faisal juga mempertanyakan dasar alasan untuk menaikkan BI rate oleh Dewan Gubernur saat ini yang melulu akibat faktor eksternal. Ia mencontohkan, pada ajang Governor’s Address & Annual Bankers’ Dinner 2013 di Jakarta, 14 November 2013 silam, Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo membuat pernyataan yang salah kaprah.

Ketika itu menurut Faisal, Agus mengatakan bahwa setelah petinggi bank sentral Amerika (The Federal Reserve/Fed) memberikan sinyal akan mengurangi stimulus moneter (tapering) pada 22 Mei 2013, hal tersebut membuat modal portofolio asing mengalir deras meninggalkan Indonesia. Hal tersebut membuat nilai tukar rupiah tertekan cukup tajam.

“Pernyataan itu sangat berlebihan. Kenyataannya nilai tukar rupiah melemah sejak Agustus 2011, jauh sebelum Mei 2013. Tidak  benar pula pernyataan derasnya aliran keluar modal portfolio asing. Bahkan sebaliknya, pada kuartal II 2013 dan setelahnya justru arus deras masuklah yang terjadi,” kata Faisal.

Dalam catatan Faisal, BI kembali sangat reaktif dengan menaikkan BI rate pada November 2014. Atau sehari setelah pemerintah menaikkan harga BBM yang mulai berlaku pada 17 November 2014. Pertemuan itu seakan merupakan pertemuan darurat karena 5 hari sebelumnya berlangsung pertemuan bulanan Dewan Gubernur BI.

Sebaliknya, beberapa kali penurunan harga BBM tidak diikuti oleh langkah penurunan BI rate. Hasilnya penurunan BI rate terakhir menjadi 7,25 persen menyisakan rongga sangat lebar antara BI rate dan laju inflasi: 390 basis poin,” kata Faisal.

Dengan perilaku BI seperti itu, Faisal mengaku tidak heran jika prediksi yang dibuat BI sering meleset.

“Kalau keliru baca medan dan kerap meleset, kredibilitas BI bakal tergerus. Apa-apa yang disampaikannya tidak didengar dan diikuti oleh pelaku pasar. Kebijakannya jadi makin tumpul alias tidak efektif mendorong pertumbuhan ekonomi,” jelasnya. (gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER