Jakarta, CNN Indonesia -- PT Pertamina (Persero) memproyeksi laba bersih dari bisnis hulu sekitar US$800 juta atau setara Rp11,04 triliun sepanjang tahun lalu. Laba tersebut dikantongi badan usaha milik negara (BUMN) tersebut setelah berhasil meningkatkan produksi sebesar 11 persen menjadi 607 ribu barel setara minyak per hari (BOEPD).
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto menjelaskan kontribusi terbesar produksi minyak dan gas Pertamina berasal dari anak usahanya, PT Pertamina EP. Produksi minyak Pertamina EP tahun lalu mencapai 100.555 barel per hari (bph) dari target 115.100 bph. Sedangkan produksi gas tercatat sebesar 1.015 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 97 persen dari target 1.052 MMSCFD.
Dwi mengakui, dengan realisasi harga minyak rata-rata US$48-US$50 per barel terjadi penurunan laba dari sektor hulu. Pada 2014, kontribusi hulu terhadap laba bersih perusahaan sekitar US$1,3 miliar dengan porsi sekitar 90 persen terhadap total laba bersih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Untuk 2015, porsi antara hulu dan hilir komposisinya sekitar 50:50, kontribusi hulu sekitar US$800 juta," kata Dwi di Jakarta, kemarin.
Harry Poernomo, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerindra, menilai penurunan harga minyak saat ini adalah momentum yang tepat bagi Pertamina untuk mencari sumber minyak di luar negeri.
“Kita tidak perlu lagi hidup dari warisan karunia alam, kita hidup dengan daya saing. Karena itu, Pertamina perlu didukung pemerintah baik secara politis maupun insentif untuk akuisisi lapangan di luar negeri," ungkapnya.
Menanggapi permintaan tersebut, Vice President Corporate Communication Pertamina Wianda Puponegoro menambahkan Pertamina telah memiliki sejumlah ladang migas di luar negeri yang berada di Aljazair, Malaysia, dan Irak.
Aset perusahaan di Irak adalah TSC West Qurna dengan hak partisipasi 10 persen bekerja sama dengan Exxon, Petrochina, Shell, dan South Oil Co.
“Produksi minyak saat ini di blok tersebut 450 ribu bph dan akan mencapai puncak pada 2022 sebesar 1,6 juta bph,” katanya.
Sementara di Malaysia, menurut Wianda, perseroan memiliki enam kontrak bagi hasil (PSC), yaitu di
offshore Sabah dan Sarawak dengan operator Murphy dan Shell. Perseroan juga memiliki 11 lapangan migas, empat struktur dalam pengembangan, 14 struktur temuan dan 16 prospek eksplorasi.
Hak partisipasi Pertamina di ladang migas Malaysia terdiri atas 24 persen untuk Blok K dan Blok H, 18 persen di Blok P, dan 25,5 persen untuk Blok SK 309, SK311, dan SK314A.
“Di ladang migas Aljazair, kami tahun ini mendapat izin dari Alnaft (badan regulasi minyak dan gas bumi Aljazair) untuk memproduksi migas dari lading MLN (Menzel Lejmat North) melalui PT Pertamina Algeria sebesar 54.300 BOEPD, naik 39,2 persen dibandingkan produksi tahun lalu 39 ribu BOEPD,” ujarnya.
Apalagi izin tersebut keluar di tengah anomali harga minyak mentah dunia. Pasalnya, Pemerintah Aljazair saat ini justru menahan produksi minyak nasionalnya yang rata-rata 1,37 juta bph.
“Setiap tahun Pertamina mengajukan rencana pengembangan kepada pemerintah Aljazair,” ujarnya.
Aset Pertamina di Aljazair terdiri atas tiga lapangan, yaitu MLN dengan hak partisipasi 65 persen, EMK dengan hak partisipasi 6,9 persen, dan di Orhud dengan hak partisipasi 3,73 persen.
Pertamina menjadi operator di MLN. Mitra lain di Pertamina di ladang tersebut adalah Sonatrach, Talisman/Repsol. Anadarko, Cepsa, Maersk, ENI.
Menurut Wianda, peluang untuk menggenjot produksi minyak di Aljazair cukup besar. Pasalnya, Pertamina memiliki kemampuan dan memiliki hubungan yang sangat baik dengan Alnaft dan Sonotrach, perusahaan migas nasional Aljazair.
Slamet Riadhy, Direktur Utama PT Pertamina International Exploration and Production (PIEP) mengatakan ekspansi hulu migas harus dilakukan untuk mengamankan kebutuhan energi Indonesia. Apalagi sejak 2003, Indonesia menjadi nett importer. Belum lagi defisit migas semakin membesar. Pada 2015, tingkat konsumsi minyak nasional mencapai 1,5 juta barel per hari sedangkan produksi produksi 825 ribu barel per hari.
Komaidi Notonegoro, Deputi Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menilai peningkatan produksi dari lapangan migas Pertamina di luar negeri akan memberi dampak positif. Pertama, menambah produksi dan lifting nasional jika minyak tersebut di bawa pulang ke Indonesia. Kedua, bertambahnya penerimaan negara dan arus kas Pertamina jika minyak tersebut tidak dibawa pulang ke Indonesia.
(gen)