Jakarta, CNN Indonesia -- Industri Hasil Tembakau (IHT) tetap menyerap tenaga kerja di tengah lesunya perokonomian Indonesia yang membuat pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi di berbagai sektor industri. Ernst and Young (EY), dalam risetnya yang dirilis 2015 lalu menyebutkan saat ini ada 5,98 juta orang terlibat secara langsung dan tidak langung di industri rokok nasional dibandingkan posisi 2009 lalu sebanyak 5,92 juta pekerja.
Menurut riset EY, dari total 5,98 juta pekerja tersebut terdiri dari 4,28 juta pekerja di pabrik rokok dan distribusi. Sementara 1,7 juta pekerja lainnya berkontribusi menggarap perkebunan tembakau dan cengkeh dari beberapa daerah di Indonesia.
“Kediri, Kudus, Malang, dan Surabaya merupakan wilayah produsen rokok utama di Indonesia,” ujar riset EY, dikutip Kamis (11/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
EY juga menghitung, total penjualan rokok di Indonesia sepanjang 2014 menghasilkan pendapatan sekitar Rp276 triliun bagi perusahaan-perusahaan rokok yang beroperasi di Indonesia. Namun, angka tersebut masih dipotong dengan setoran pajak dan cukai kepada negara sebesar Rp154 triliun.
Analis Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng menilai survei itu memberi bukti bahwa IHT tetap solid di tengah perlambatan ekonomi yang dialami Indonesia dan negara-negara lain di dunia.
"IHT relatif kuat karena terintegrasi dan tidak banyak bergantung terhadap bahan baku impor. Walaupun ada komposisi impor, namun bahan baku lokal tetap sangat besar," ujar Daeng.
Ia menjelaskan, saat ini banyak perusahaan manufaktur di Indonesia ambruk disebabkan oleh masalah nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika akibat masih banyak yang bergantung pada bahan baku impor.
"Berbeda dengan rokok walaupun terjadi perlambatan ekonomi, tapi orang mengonsumsi produk ini sehingga relatif stabil saja, efek pelemahan tidak dampak signifikan," jelasnya.
Oleh karena konsisten menghasilkan pendapatan, Daeng menyebut tidak heran IHT masih terus memberikan kontribusi tinggi terhadap penerimaan pajak dan cukai negara. Namun sayangnya, ia melihat pemerintah tidak pernah mau perduli dengan pengembangan IHT dengan hanya mengedepankan pendapatan berulang dari IHT tersebut.
"Pemerintah tidak mengurus masalah IHT, yang diurus uangnya saja. Pemerintah tidak urus pertanian tembakau, tidak urus perdagangan tembakau, hingga peningkatan kapasitas petani," tandas Daeng.