Bali, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mempertimbangkan berbagai opsi untuk mengantisipasi selisih subsidi penyerapan biodiesel (B20) 2016 oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) akibat anjloknya harga minyak mentah dunia. Hal ini dilakukan untuk memastikan program B20 terus berjalan di Indonesia.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Rida Mulyana mengungkapkan salah satu opsi yang ada di mejanya adalah mengubah formulasi Harga Indeks Pasar (HIP) biodiesel. Pasalnya, pemerintah tidak bisa mengendalikan harga minyak dunia.
“Mekanisme formulasi harga (biodiesel) kan bisa kita tinjau,” ujar Rida saat ditemui di sela Bali Clean Energy Forum (BCEF) 2016 di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali, Jumat (12/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesuai Keputusan Menteri ESDM Bernomor 3239 K/12/MEM/2015 mengenai HIP Bahan Bakar Nabati (Biofuel) yang Dicampurkan ke dalam Jenis Bahan Bakar Minyak (BBM) Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan, HIP Biodiesel dihitung dengan menggunakan referensi harga minyak sawit mentah (
crude palm oil/CPO) PT Kharisma Pemasaran Bersama (KPB) Nusantara plus US$125 per ton, ditambah ongkos angkut.
“Harga itu kan berdasarkan kesepakatan dan berdasarkan asumsi pada waktu dibuat kesepakatan itu. US$125 kan biaya produksi dari sawit menjadi biodiesel. Di dalamnya kan ada komponen beli metanol, ada biaya produksinya sendiri, ada marginnya. Komponen yang membentuk struktur harga itu kan bisa ditinjau ulang,” ujarnya.
Penentuan formula harga baru, lanjut Rida, akan melibatkan kementerian teknis terkait dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan, serta pelaku usaha.
“Kalau biaya produksinya tidak bisa dikurangi, ya bisa produktivitasnya ditinggikan. Kalau produktivitas tinggi kan berarti lebih efisien, kalau efisien kan harganya bisa turun,” ujarnya.
Subsidi APBNSelain membuka opsi mengubah formulasi harga, pemerintah juga mempertimbangkan pemberian subsidi melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun demikian, lanjut Rida, hal itu tidak akan dilakukan tahun ini. Pasalnya, apabila harga rata-rata minyak masih di sekitar US$30 per barel subsidi BPDPKS masih mencukupi untuk 11 bulan ke depan.
“Mungkin nggak APBN masuk? Namanya kemungkinan pasti ada, minimum itu sudah ditaruh sebagai salah satu opsi kalau sekiranya dana BPDPKS tidak cukup (mensubsidi),” ujarnya.
Bayu Krisnamurthi, Direktur Utama BPDPKS, sebelumnya mengungkapkan dalam tiap penurunan harga minyak bumi sebesar US$1 per barel dibutuhkan dana tambahan sebesar Rp350 miliar. Dengan demikian, maka pada setiap kenaikan harga CPO US$1 per ton dibutuhkan dana tambahan Rp38 miliar.
Berdasarkan perhitungan BPDPKS, pada saat harga minyak mentah bertengger di angka US$40 per barel dibutuhkan dana sekitar Rp9,5 triliun untuk merealisasikan program mandatori biodiesel. Sedangkan ketika harga minyak anjlok ke level US$20 per barel, kebutuhan dana untuk program mandatori mencapai Rp16,5 triliun.
Dengan proyeksi pendapatan dana sawit tahun ini mencapai Rp9,5 triliun dan sisa pungutan tahun lalu sebesar Rp6,9 triliun, BPDPKS mengklaim masih bisa memberikan subsidi. Dengan catatan selisih harga minyak mentah dan CPO tidak terlampau jauh.
"Kami merasa dana sawit cukup aman untuk mendukung program B20 hingga 8-10 bulan kedepan. BPDPKS masih bisa menanggung subsidi hingga Rp11,9 triliun,” tutur Bayu, Kamis (21/1) lalu.
Sebagai informasi, tahun lalu, realiasi penyerapan biodiesel hanya mencapai 905 kiloliter (kl) atau 53 persen dari target. Penggunaan biodiesel itu hanya mampu menghemat devisa sekitar Rp5,1 triliun dari pengurangan impor BBM.
Tahun ini, pemerintah menargetkan penggunaan biodiesel bisa mencapai 6,9 juta kl baik untuk program mandatori maupun non-mandatori. Angka itu setara dengan penghematan devisa sebesar US$2 miliar dari berkurangnya impor BBM.