Kementan Paksa 5 Perusahaan Sawit Indonesia Keluar dari IPOP

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Rabu, 17 Feb 2016 19:07 WIB
Kesepakatan IPOP melarang perusahaan menampung tandan buah segar dari petani maupun minyak sawit mentah dari kebun sawit yang tidak memenuhi kriteria IPOP.
Kesepakatan IPOP melarang perusahaan menampung tandan buah segar dari petani maupun minyak sawit mentah dari kebun sawit yang tidak memenuhi kriteria IPOP. (ANTARA FOTO/Regina Safri).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pertanian (Kementan) meminta lima perusahaan sawit besar Indonesia melepaskan diri dari kesepakatan Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP). Pasalnya, kriteria pengelolaan sawit dalam perjanjian tersebut menimbulkan kerugian bagi petani kelapa sawit.

“Saya sudah izin dengan Pak Menteri Pertanian Amran Sulaiman supaya saya dapat menyatakan statement ‘Bubarkan IPOP’. Kalau perusahaan itu masih tetap di IPOP lebih baik keluar dari Indonesia ini,” tutur Direktur Jenderal Perkebunan Kementan Gamal Nasir dalam konferensi pers bertema ‘Bermartabatlah Sawit Kita!’ di Hotel Aston, Jakarta, Rabu (17/2).

Sebelumnya, perjanjian IPOP disepakati oleh lima raksasa perusahaan sawit Indonesia pada September 2014 lalu yaitu Wilmar Indonesia, Cargill Indonesia, Golden Agri Resources, Musim Mas, dan Asian Agri. Kesepakatan itu merupakan komitmen kelima perusahaan dalam menciptakan praktik industri kelapa sawit yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Beberapa kriteria praktik industri sawit yang diatur diantaranya kebun sawit bebas deforestasi (no deforestation), kebun sawit tidak di lahan gambut (no peatland), kebun sawit tidak di lahan yang berkarbon tinggi (High Carbon Stock (HCS), serta rantai pasok yang bisa dilacak (traceability). Implementasi kriteria tersebut dilakukan sejak awal 2015.

Menurut Gamal implikasi dari kesepakatan itu adalah kelima perusahaan dilarang menampung tandan buah segar (TBS) dari petani maupun minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari kebun sawit yang tidak memenuhi kriteria IPOP.

Hal itu, lanjut Gamal, merugikan petani swadaya sawit Indonesia. Pasalnya, saat ini masih banyak petani yang menanam di lahan gambut dan marginal. Sementara, luasan lahan perkebunan sawit yang dikelola petani swadaya hampir separuh dari total luas areal perkebunan kelapa sawit di Indoenesia, 10,5 juta hektare.

“Jika sampai kelima perusahaan tersebut benar-benar menolak TBS milik petani karena melanggar aturan dari IPOP, hal ini sama saja IPOP telah menyengsarakan petani,” ujarnya.

Kedepankan ISPO

Selain itu, terkait praktik keberlanjutan, industri sawit Indonesia telah memiliki Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) yang selaras dengan Undang-undang dan Peraturan Menteri Pertanian.

Gamal menyebutkan pemerintah telah mengirim surat teguran pada sekretriat IPOP tahun lalu untuk menunda pelaksanaan praktik sawit versi IPOP. Namun, surat itu tidak mempan.

“Saya dengar ada (perusahaan) yang sudah mengancam tidak akan membeli CPO dari perusahaan yang dapat TBS dari petani,” ujarnya.

Selanjutnya, Gamal akan berkoordinasi dengan sejumlah pihak terkait untuk kembali menegur kelima perusahaan yang menguasai sekitar 70 persen pasar sawit dalam negeri. Bukan tidak mungkin, apabila kelima perusahaan tidak menggubris, pemerintah bisa memberikan sanksi tegas berupa pencabutan izin usaha.

“Negara kita kan negara berdaulat, mereka berusaha di negara kita bukan di Amerika,”” ujarnya.

Di tempat yang sama, Anggota Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Firman Soebagyo menyayangkan perusahaan yang tergabung dalam IPOP. Firman menilai IPOP telah melanggar pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam beleid tersebut dijelaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jika petani tidak bisa memasok TBS ke perusahaan untuk diolah berarti perusahaan tersebut sudah tidak mendukung kemakmuran rakyat

Selain itu, di ayat (4) pasal yang sama juga dijelaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

“Jika hal ini (implementasi IPOP) dilakukan maka bisa saja timbul kartelisasi perkebunan dan saat ini sudah terjadi di pertenakan yang hanya dikuasai beberapa perusahaan saja,” ujarnya. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER