Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mulai mengkhawatirkan dampak negatif dari penguatan rupiah terhadap pelemahan kinerja ekspor nasional. Untuk itu, ia mengingatkan otoritas terkait untuk tidak membiarkan nilai rupiah terlalu kuat melawan dolar Amerika Serikat (AS).
"Pada dasarnya kalau rupiah itu terlalu lemah tidak bagus, terlalu kuat juga tidak bagus. Ekspor kita akan semakin lemah," ujar Darmin di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (7/3).
Reuters mencatat, rupiah pada perdagangan pagi ini, Senin (7/3) dibuka pada level Rp13.019 per dolar AS. Mata uang Garuda itu sempat melonjak hingga menyentuh level Rp12.990 per dolar AS, sebelum akhirnya kembali terkoreksi menjadi Rp13.045 per dolar AS.
Dia menilai pergerakan rupiah yang sempat menyentuh kisaran Rp12.900 per dolar AS menjadi indikai bahwa rupiah mulai mendekati posisi fundamentalnya. Darmin mengatakan, rupiah masih memiliki ruang untuk terus menguat mengingat banyak sentimen yang mendorong aliran modal masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, derasnya dana asing yang masuk dan memperkuat rupiah terkait dengan ekspektasi investor yang melihat Indonesia sebagai negara tujuan investasi yang menjanjikan.
"Sesuai dengan fundamental rupiah, ada beberapa pandangan yang bilang Rp 12.700-12.500 tapi ada yang bilang kurang dari itu. Kita sedang mendekati area fundamental kita," katanya.
Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini menilai seharusnya kurs rupiah tidak perlu lagi menjadi penghambat perdagangan. Pasalnya, yang lebih dibutuhkan pengusaha adalah kestabilan nilai tukar karena sangat mempengaruhi perusahaan dalam melakukan perencanaan bisnis dan investasi masa depan.
"Karena sebenarnya nilai kurs sebaiknya tidak bersifat menghambat atau mendorong kegiatan perdagangan, seharusnya dia bersifat netral. Yang dibutuhkan pengusaha adalah kestabilitasan jangan terlalu banyak perubahan dan jangan terlalu cepat bergerak," kata Darmin.
Karenanya, Darmin Nasution kembali menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan BI guna mengendalikan rupiah agar tidak terlalu menguat tajam. Dia menyebut, suku bunga acuan atau BI rate diharapkan bisa menjadi instrumen pengendali yang mampu menstabilkan nilai tukar rupiah.
"Harus ada koordinasi dengan BI. Tidak bisa pemerintah sendiri, karena yang punya instrumen utama adalah BI. Bisa tingkat bunga, apa saja yang bisa mempengaruhi tingkat bunga Surat Utang Negara (SUN) agar didorong ke bawah," katanya.
Namun, lanjutnya, kondisi penguatan rupiah bisa berubah drastis jika sewaktu-waktu Bank Sentral AS atau The Federal Reserve, memutuskan untuk menaikan tingkat suku bunga nya dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) mendatang.
Dia mengingatkan risiko pembalikan modal asing dari Indonesia bisa saja terjadi jika The Fed menaikkan suku bunga acuannya. Kendati demikian, Darmin masih meragukan The Fed akan menaikan bunganya mengingat perekonomian AS belum sepenuhnya membaik.
"Kalaupun dia (AS) mau menaikkan suku bunga, itu pun dilihat orang tidak banyak dampaknya. Karena negara lain menurunkan bunga, AS ragu apalagi pertumbuhan ekonominya tidak cukup bagus,” tutur Darmin.
(ags)