Antisipasi Krisis, BKF Minta Pemilik Bank Siaga Tambah Modal
Agust Supriadi | CNN Indonesia
Senin, 21 Mar 2016 10:26 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Ilustrasi penambahan modal perbankan. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Kebijakan Fiskal (BKF) mewaspadai risiko krisis keuangan sistemik yang selalu dan akan terus membayangi pergerakan ekonomi Indonesia. Karenanya, lembaga di bawah Kementerian Keuangan itu menuntut komitmen dari para pemegang saham di bank-bank sistemik untuk bersiap menambah modal jika sewaktu-waktu risiko yang tak diharapkan itu datang.
"Kami tidak berharap ada krisis, tetapi risiko itu selalu ada," ujar Basuki Purwadi, Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) BKF kepada CNN INdonesia, Senin (21/3).
Menurutnya, risiko krisis ini yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang tentang Tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Substansi utama dari beleid ini adalah pencegahan krisis dengan menitikberatkan pengawasan terhadap bank-bank yang masuk kategori sistemik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Basuki menjelaskan, dalam UU PPKSK disebutkan beberapa indikator yang menjadikan sebuah bank masuk dalam kategori berdampak sistemik. Pertama, dinilai dari ukuran aset, modal, dan kewajiban bank. Lalu dilihat pula dari luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan, serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain yang dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan.
"Untuk itu bank harus memenuhi kecukupan modal, rasio likuiditas, dan dia harus buat rencana aksi recovery plan. Dituntut kesanggupan pemegang saham untuk menambah modal, serta mengonversi utang-utang kreditur menjadi saham bank, dan sebagainya," jelasnya.
Dia menegaskan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab terhadap pengawasan bank-bank sistemik. Namun, UU PPKSK mewajibkan OJK secara berkala menyusun daftar bank sistemik dan melakukan koordinasi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, serta Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) untuk menetapkan langkah-langkah mitigasi risiko.
"Untuk daftar bank sitemik itu ranahnya OJK. Terakhir mereka mengatakan kurang lebih 30 bank (berdampak sistemik)," tutur BAsuki.
Sebelum UU PPKSK terbit, kata Basuki, tidak jelas pembagian tugas antar-lembaga terkait ketika krisis keuangan terjadi. Saat ini, lanjutnya, setiap anggota dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) yakni Ketua Dewan Komisioner OJK, Gubernur BI, Menteri Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner LPS, "masing-masing sudah tahu siapa melakukan apa".
Basuki menegaskan dalam UU PPSKS tidak disebutkan skema bantuan dana talangan yang bersumber dari APBN (bailout). Menurutnya, upaya pencegahan krisis di saat kondisi normal harus diutamakan antara lain dengan mewajibkan pemegang saham memperkuat modal banknya secara swadaya (bail in).
"Kalaupun dimungkinkan bailout, itu adalah solusi terakhir," katanya.
Namun, pada pasal 20 UU PPKSK disebutkan, bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan permohonan pinjaman jangka pendek dari BI dengan syarat memiliki agunan berupa surat berharga atau aset kredit .
Apabila kondisi solvabilitas bank memburuk, maka OJK dapat meminta LPS untuk melakukan langkah pengamanan, mulai memfasilitasi pemasaran hingga pengalihan sebagian atau seluruh aset dan kewajiban bank sistemik kepada bank penerima atau bank perantara.
LPS sesuai UU Nomor 7 Tahun 2009 tentang Lembaga Penjaminan Simpanan, juga menjamin simpanan nasabah di bank maksimal Rp100 juta per nasabah. Namun besar penjaminan bisa diturunkan menjadi kurang dari 90 persen jika terjadi ancaman krisis, atau terjadi penarikan dana perbankan dalam jumlah besar secara bersamaan (rush), dan/atau inflasi melonjak tinggi dalam beberapa tahun.
Akan tetapi, dalam kondisi krisis keuangan, KKSK dapat merekomendasikan program restrukturisasi perbankan, yang dapat diterima atau ditolak oleh presiden. Program ini memungkinkan tambahan modal ke bank sistemik, yang bisa berasal dari pemegang saham, hasil pengelolaan aset, kontribusi atau premi penjaminan industri perbankan, dan/atau pinjaman yang diperoleh LPS.
Apabila terapat selisih lebih dari hasil pelaksanaan program restrukturisasi perbankan, maka akan menjadi tambahan kekayaan negara. Sebaliknya, jika terjadi defisit maka akan diperhitungkan ke dalam modal LPS yang akan ditutup dari kontribusi iuran premi penjaminan dana nasabah yang disetor perbankan.