Jakarta, CNN Indonesia -- Dua petinggi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan P. Roeslani dan Anindya Bakrie memilih bungkam mengenai bocoran dokumen "Panama Papers".
"Panama Papers" merupakan dokumen investasi rahasia milik firma hukum yang berbasis di Panama, Mossack Fonseca, yang bocor ke media Jerman, Suddeutsche Zeitung dan dirilis oleh International Consortium of Investigative Journalists (ICIJ).
Kekayaan tersembunyi dari para pemimpin dunia, politisi dan selebriti terungkap dalam dokumen berkapasitas 2,6 terabit dari 11,5 juta data investasi itu. Meskipun tidak menyebutkan melanggar hukum, tetapi bocoran dokumen ini menyiratkan modus pengemplangan pajak dan pencucian uang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam dokumen rahasia tersebut, disebutkan pula 2.960 wajib pajak Indonesia yang diduga terkait dengan bisnis Mossack Fonseca, di antaranya ada nama Rosan P. Roeslani dan Anindya Bakrie. Kolega keduanya di Kadin, Sandiaga Uno juga masuk dalam daftar "Panama Papers".
Rosan baru saja terpilih sebagai Ketua Umum Kadin Indonesia, sedangkan Anindya Bakrie dan Sandiaga Uno masuk dalam jajaran Wakil Ketua Umum.
Namun ketika dikonfirmasi, Rosan Roeslani di sela pengukuhan rapat pengurus lengkap Kadin hari ini, Selasa (5/4) hanya berkata, "Saya tidak mau berkomentar."
Sementara Anindya Bakrie di lokasi yang sama mengaku belum membaca dokumen tersebut. Dia justru mempertanyakan keabsahan dokumen yang dibocorkan oleh ICIJ tersebut.
"Iya banyak ya namanya. Tahu dari mana tuh datanya? Mau dilihat dulu baru bisa komentar," ujar Anindya.
Berbeda halnya dengan keduanya, Sandiaga Uno justru lebih terbuka ketika dimintai keterangan soal rekam jejak investasinya dalam jaringan bisnis global Mossack Fonseca.
Sandiaga mengatakan kerjasama dengan perusahaan
offshore service seperti Mossack Fonseca merupakan hal yang lumrah guna mendukung pertumbuhan bisnis. Namun, lanjutnya, hal itu harus sesuai dengan hukum.
“Dalam proses investasi dan penciptaan lapangan kerja, sangat lazim menggunakan offshore service dan tentunya harus tetap dalam koridor hukum yang berlaku,” ujarnya saat dihubungi.
Banyak MotifKetua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani menilai penempatan dana yang dilakukan pengusaha nasional di luar negeri belum tentu merupakan upaya penghindaran pajak. Menurutnya, banyak motif yang bisa melatarbelakangi pengusaha untuk memilih tidak menempatkan dananya di Indonesia.
Menurutnya, kadang alasan pengusaha menempatkan uangnya di luar negeri karena masalah keamanan jasa keuangan. Terkadang, jelasnya, menyimpan uang di luar negeri dipilih para pemilik modal sebagai bagian dari perencanaan masa depan keuangan.
"Biasanya dana-dana keluarga memang di simpan di luar negeri karena masalah security. Lebih ke alasan portofolio keluarga. Di saat seperti ini kan sudah tidak ada lagi sekat antar negara, namun bukan berarti uang yang dibawa ke luar negeri itu disalahgunakan," jelasnya.
Ia menambahkan, kadang penempatan dana di luar negeri juga bisa digunakan sebagai bagian aksi korporasi di luar negeri. Ia beralasan, hal itu memudahkan aktivitas keuangan perusahaan dalam negeri di luar Indonesia seperti melakukan transfer.
"Kita juga ada korporasi yang melakukan aktivitasnya di luar negeri, seperti halnya Korea yang melakukan investasi dimana-mana, kalau perusahaan kita multinasional juga kita harusnya punya dana dimana-mana. Menurut saya isunya harus dilihat lagi," terangnya.
Kendati demikian, ia mendukung adanya pemeriksaan lebih lanjut jika memang ada kaitannya dengan aktivitas pajak di dalam negeri.
"Memang perlu ada investigasi kalau memang ada indikas agar tidak terlacak otoritas pajak," tambahnya.
(ags/gen)