Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah membutuhkan jasa konsultan hukum independen guna menghadapi perusahaan tambang asal India, Indian Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) di Mahkamah Arbitrase Internasional.
Sebelumnya, IMFA menggugat Pemerintah Indonesia ke Mahkamah Arbitrase Internasional setelah tidak bisa berproduksi akibat tumpang tindih penggunaan lahan dengan tujuh Izin Usaha Pertambangan (IUP). Perusahaan tambang batubara berbadan hukum India ini menuntut ganti rugi sebesarRp 7,7 triliun atau setara dengan US$ 581 juta. Gugatan diajukan IMFA ke Mahakamah Arbitrase pada 23 September 2015.
Menanggapi gugatan tersebut, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.01/2016 tentang Tata Cara Pengadaan Jasa Konsultan hukum Dalam Rangka Penanganan Gugatan Arbitrase Internasional yang Diajukan Oleh Indian Metals & Ferro Alloys Limited. PMK tersebut terbit pada 12 April 2016 dan diundangkan pada 13 April 2016.
Dalam beleid tersebut, Menkeu menjelaskan proses seleksi konsultan hukum dilakukan oleh Tim Penanganan gugatan arbitrase, yang dipimpin beranggotakan pimpinan kementerian/lembaga terkait. Sebagai koordinator tim dipercayakan kepada Jaksa Agung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang menegaskan, calon konsultan hukum yang boleh ikut tender hanya kantor hukum berbadan hukum Indonesia dan mempunya afiliasi dengan kantor hukum asing. Selain itu, calon kantor hukum peserta tender harus bebas dari benturan kepentingan dengan Pemerintah Indonesia.
Ada beberapa tahapan yang harus diikuti oleh seluruh peserta tender, yang dimulai dari penyampaian surat permintaan proposal, penelitian dokumen proposal, tahap presentasi (beauty contest), pemeringkatan, hingga penetapan pemenang.
Selain harus menguasai hukum acara arbitrase internasional, konsultan hukum yang berpeluang untuk menang adalah yang menguasai strategi penanganan perkara di mahkamah arbitrase, serta memiliki hubungan baik dengan pemangku kepentingan terkait di tingkat global mapun nasional.
Kriteria lainnya, " (bisa) menawarkan nilai/besaran jasa hukum Penanganan Gugatan Arbitrase yang wajar dan dapat dinegosiasikan," tulis Menkeu dalam PMK-nya.
Sebagai informasi, gugatan IMFA berawal saat perusahaan tambang India itu mengakuisisi PT Sri Sumber Rahayu India senilai US$8,7 juta pada 2010. PT Sri memiliki IUP batubara di lahan seluas 3.600 hektar di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang diterbitkan oleh Bupati Barito Timur pada 2006.
IMFA kemudian mengaku merugi pasca akuisis karena ternyata bisa melakukan penambangan karena IUP yang dimiliki PT Sri tumpang tindih dengan IUP milik tujuh perusahaan lain. Menurut perhitungan IMFA, potensi pendapatan yang hilang akibat tidak bisa menambang batubara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai Rp 7,7 triliun.
Gugatan masuk pada 23 September 2015 lalu dan akan mulai sidang pertama pada 6 Desember 2015 dengan tiga orang arbiter yang dipimpin arbiter independen di arbitrase Singapura. Dalam waktu maksimal 2 tahun, arbitrase akan menetapkan keputusan.