Jakarta, CNN Indonesia -- Persatuan Pedagang Beras dan Penggilingan Padi (Perpadi) meminta pemerintah mengawasi distribusi beras antar daerah di Indonesia. Para pedagang mengendus adanya upaya oknum yang ingin mengganggu kelancaran pasokan ke pasar untuk membuat harga melambung tinggi.
“Ada kasus akhir-akhir ini di mana beras tidak boleh bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Ini menjadi sesuatu yang akan memicu kenaikan harga,” tutur Ketua Perpadi Pusat Sutanto Alimoeso di Jakarta, kemarin.
Sutanto mengungkapkan praktik itu terjadi di beberapa daerah. Disebutkannya, salah satu daerah yang telah melarang distribusi beras ke daerah lain adalah Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan alasan cadangan beras Bulog di daerah tersebut tidak mencukupi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, harus mendatangkan beras dari Sulawesi Selatan. Kalau beras dari Sulawesi Selatan tidak boleh bergerak ke NTT alasannya untuk stok pemerintah (Sulsel) ya pasti harga beras di NTT akan naik,” ujarnya.
Tahun lalu, lanjut Sutanto, praktik pembatasan penyaluran beras antar daerah tidak terjadi. Hingga kini pun, Sutanto tidak menemukan dasar hukum pelarangan distribusi beras antar daerah itu.
“Peraturan kelihatannya tidak tertulis tapi terjadi di lapangan,” jelasnya.
Setiap bulan, stok beras di masing-masing daerah kerap mengalami fluktuasi. Ada daerah yang mengalami surplus beras dan ada daerah yang defisit.
“Di daerah itu enam bulan bisa surplus (beras), enam bulan bisa minus pasokannya. Artinya apa? Harus ada yang mendistribusikan,” ujarnya.
Selanjutnya, Sutanto berharap pemerintah pusat memperhatikan praktik larangan distribusi beras antar daerah itu.
“Praktik (pembatasan distribusi) itu tidak perlu wong selama ini tidak begitu bisa. Kalau Bulog masih perlu stok, ya Bulog harus memikirkan bagaimana caranya, tidak harus memaksa (melarang),” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Perpadi DKI Jakarta Nellys Soekidi mengeluhkan kerapnya pedagang menjadi kambing hitam atas kenaikan harga beras. Padahal, ketidakakuratan data produksi beras pemerintah bisa menyebabkan pemerintah kurang tepat dalam mengambil kebijakan di sektor pangan.
"Pengambil keputusan mengatakan satu hektare (lahan) bisa produksi 8 atau 9 ton gabah. Riilnya 5,3 atau 5,5 ton. Artinya sudah ada selisih 3,6 ton yang dikali 13 juta hektar (total luas lahan tanam),” ujarnya.
“Kalau benar-benar dihitung produksi 9 ton, surplusnya sudah nggak karu-karuan tapi barangnya nggak ada. Pedagang dianggap mafia padahal itu salahnya data," lanjutnya.
(gen)