Impor Migas Tinggi, Waspada Pembalikan Defisit Neraca Dagang

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Selasa, 17 Mei 2016 07:15 WIB
Indef mengingatkan pemerintah untuk jangan terlampau gembira dengan suplus neraca perdagangan Indonesia.
Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta, Kamis 13 November 2014. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economic and Finance (Indef) mengingatkan pemerintah untuk jangan terlampau gembira dengan suplus neraca perdagangan Indonesia. Hal ini justru mengkhawatirkan karena menunjukkan neraca perdagangan Indonesia masih sangat bergantung pada impor minyak dan gas.

Ekonom Indef Dzulfian Syahrian mengatakan secara kumulatif, sudah empat bulan terakhir (Januari-April 2016) terjadi penurunan impor maupun ekspor Indonesia. Penyebab utama penurunan neraca perdagangan Indonesia masih disebabkan oleh lemahnya permintaan dunia dan juga rendahnya harga minyak global, yang sampai saat ini masih bertahan di kisaran US$45-50 per barrel.
 
"Dengan demikian, Pemerintah jangan terlampau gembira dulu dengan kabar suplus neraca perdagangan ini karena surplus ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, jatuhnya harga minyak," ujarnya melalui pesan singkat, Senin (16/5).

Menurutnya, impor migas pasti turun secara nilai akibat anjloknya harga minyak dunia. Namun, jika dilihat lebih dalam dan detil, volume ekspor/impor migas biasanya tidak berubah sesignifikan nilai ekspor/impor.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Data ini justru sebenarnya mengkhawatirkan karena  mengkonfirmasi bahwa kondisi neraca perdagangan Indonesia masih sangat bergantung pada impor migas," tuturnya.

Selain itu, lanjut Dzulfian, konsumsi masyarakat terhadap migas masih tinggi dan terus tumbuh sehingga ketika harga minyak nanti merangkak naik maka neraca perdagangan kita akan terancam defisit kembali.

Terlebih, katanya, dalam beberapa bulan terakhir, khususnya selama Maret 2016, harga minyak dunia naik cukup tajam. Harga minyak kembali merangkak dari level US$30 per barrel dan kini hampir menyentuh US$50 per barrel.

"Jika trend kenaikan ini terus berlanjut, Indonesia lambat laun akan mengalami defisit perdagangan kembali," katanya.
 
Dia menambahkan, penurunan harga minyak seperti saat ini sebenarnya peluang sekaligus keuntungan besar bagi Indonesia sebagai negara pengimpor minyak.  Sebab, selain membuat neraca perdagangan surplus, kejatuhan harga minyak juga bisa membantu stabilisasi rupiah dan menjadi insentif bagi dunia usaha karena ongkos produksi mereka menjadi lebih rendah.

"Hanya saja, tanpa adanya perubahan struktural dalam proses kemudahan melakukan bisnis di Indonesia, insentif rendahnya harga minyak tidak akan berpengaruh signifikan terhadap perekonomian secara nasional," jelas Dzulfian.

Alternatif Penerimaan

Kandidat Doktor dari Durham University Business School, Inggris ini menambahkan penurunan harga minyak juga membuat penerimaan negara menjadi lebih sulit. Karena, pos penerimaan dari sektor migas pasti akan mengalami penurunan besar.

Oleh karena itu, Dzlufian menyarankan agar pemerintah mencari alternatif sumber penerimaan. Salah satunya adalah dengan menggenjot dan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan mengingat rasio perpajakan Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

"Kekhawatiran Pemerintah akan terjadinya shortfall penerimaan negara ini juga terlihat dari ngototnya Pemerintah menggolkan RUU Tax Amnesty," ucapnya.
 
Selain itu, ia menilai penurunan harga minyak juga akan menghambat berkembangnya energi-energi alternatif dan terbaharukan, seperti biofuel, biodiesel, dan lain-lain. Pasalnya, energi alternatif akan kalah bersaing selama harga minyak masih terjangkau.
 
Secara tahunan (year on year), nilai kumulatif ekspor Indonesia pada Januari-April 2016 lebih rendah 13,63 persen dibanding periode yang sama tahun lalu setelah hanya membukukan nilai US$45,05 miliar. Demikian juga untuk ekspor nonmigas, totalnya tercatat sebesar US$40,70 miliar, menurun hampir 10 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
 
"Pemerintah perlu memberikan perhatian lebih dari atas turunnya Ekspor nonmigas. Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena memang permintaan ekspor barang-barang kita masih lemah karena perekonomian dunia belum pulih," jelasnya.

Ironisnya, tambah Dzulfian, nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal masih mengalami tren penurunan dalam empat bulan pertama 2016 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Di sisi lain, impor golongan barang konsumsi justru terus mengalami tren peningkatan sebesar 16,42 persen.

"Tren ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional dan wajib mendapat perhatian khusus dari Pemerintah untuk sesegera mungkin membenahi struktur perekonomian kita," tandasnya. (ags)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER