Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah kembali mengubah usulan tarif uang tebusan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pidana Pajak (
Tax Amnesty) di parlemen.
Dalam usulan terbarunya, pemerintah menaikkan batas terendah tarif uang tebusan menjadi dua persen dari sebelumnya 1 persen karena mempertimbangkan periode pelaksanaan amnesti pajak yang kemungkinan maksimal hanya enam bulan.
“Usulan (tarif tebusannya) 2 persen, 4 persen, 3 persen, dan 6 persen,” tutur Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi saat di temui di kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, Selasa (25/5) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ken merinci, bila pemohon amnesti melakukan repatriasi asetnya maka besaran tarif terbusannya adalah 2 persen untuk periode pelaporan tiga bulan pertama sejak Undang-Undang (UU) diberlakukan. Tarifnya naik menjadi 3 persen jika pelaporan aset dan persetujuan repatriasi bari dilakukan pada tiga bulan berikutnya.
Apabila pemohon hanya mendeklarasikan aset yang dimohonkan pengampunan pidana pajaknya, lanjut Ken, maka besaran tarifnya 4 persen untuk periode pelaporannya pada bulan pertama sampai dengan akhir bulan ketiga sejak UU
Tax Amnesty berlaku. Namun, tarifnya naik menjadi 6 persen jika periode pelaporan aset baru dilakukan pada tiga bulan berikutnya.
Sebelumnya, pemerintah mewacanakan penerapan amnesti pidana pajak selama setahun penuh seperti tertuang dalam draf RUU Tax Amnesty. Dalam RUU tersebut dijelaskan, periode permohonan pengampunan dibagi menjadi tiga kategori yaitu pada tiga bulan pertama, tiga bulan kedua, dan lebih dari enam bulan hingga 31 Desember 2016.
Secara terpisah, Ecky Awal Mucharram, anggota Komisi XI DPR merangkap anggota panitia kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak, menilai tarif tebusan yang diusulkan pemerintah masih terlalu rendah, tidak adil, dan berpotensi membuat negara kehilangan potensi penerimaan.
Menurut Ecky, hampir semua fraksi di DPR meminta tarif dinaikan. Ada yang mengusulkan kenaikan tarif ke kisaran 5 hingga 15 persen. Selain itu, sebagian fraksi, termasuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS) meminta agar yang dihapus hanya sanksi administratif dan pidana pajaknya saja, sehingga tarif tebusan sesuai tarif normal dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang berlaku atau sekitar 25-30 persen.
“Saya yakin ini pun masih menarik bagi mereka karena sanksi administrasi saja besarnya 48 persen dari pokok utang pajak, ditambah penghapusan pidananya” ujar Ecky.
Selain masalah tarif, lanjutnya, persoalan lain yang menjadi sorotan adalah masalah reformasi perpajakan yang dilakukan bersamaan dengan
tax amnesty. Berdasarkan pengalaman negara-negara lain, kata Ecky,
tax amnesty yang dilakukan tanpa reformasi perpajakan selalu gagal. Oleh karenanya, Panja mendorong pemerintah melakukan revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) sejalan dengan reformasi perpajakan.
“
Tax Amnesty tidak akan berhasil tanpa adanya reformasi perpajakan yang meliputi aspek regulasi, administrasi, dan institusi perpajakan,” ujarnya.
Selain itu, Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini juga menyoroti soal data dan informasi terkait harta peserta pengampunan pajak. Ecky pun mengutip Pasal 15 draft RUU Pengempunan Pajak, "data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak."
“Kami meminta agar hal ini menjadi hanya terbatas pada pidana perpajakannya saja. Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” tegasnya.
(ags)