Jakarta, CNN Indonesia -- Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mendesak Presiden Joko Widodo segera mengambil alih kendali kebijakan amnesti pajak menyusul berlarut-larutnya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak di parlemen.
CITA juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengawal pembahasan RUU tersebut guna menghindari terjadinya politik transaksional dan risiko kecelakaan moral (
moral hazard) yang bisa merugikan negara.
"Pembahasan RUU Pengampunan Pajak di Panja DPR telah memasuki minggu ketiga dan belum menunjukkan tanda-tanda membahas substansi RUU secara mendasar. Dikhawatirkan situasi ini justru mengarah pada ketidakpastian baru yang memperburuk keadaan," ujar Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo melalui keterangan tertulis, Senin (6/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, Kebijakan amnesti pajak (
tax amnesty) yang dipersiapkan dengan baik berpotensi memperluas basis pajak, menambah jumlah wajib pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak yang signifikan dan berkesinambungan. Sebaliknya, "penyelesaian yang terburu-buru rawan menimbulkan celah dan
moral hazard. Namun pembahasan yang bertele-tele selain melelahkan juga menciptakan ketidakpastian."
Yustinus menilai kepemimpinan tim pemerintah yang lemah menjadi salah satu faktor yang memperlambat pembahasan dan bertele-telenya rapat Pantia Kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak. Untuk itu, Presiden Jokowi diminta turun tangan guna menyikapi aspirasi dilemparkan setiap fraksi secara bijak dan cekatan.
"Untuk itu Presiden perlu segera mengambil alih kendali pembahasan dengan melakukan konsolidasi dan diskursus bersama para ketua umum Parpol, ketua DPR, ketua Fraksi, asosiasi usaha, institusi penegak hukum, dan masyarakat sipil agar segera diperoleh kesamaan pandangan, maksud dan tujuan," tuturnya.
CITA juga menyoroti rapat tertutup Panja RUU
Tax Amnesty, yang jauh dari transparansi dan akuntabilitas. Karenanya, Yustinus berharap DPR dan Pemerintah dapat melaksanakan rapat secara terbuka mengingat pengampunan pajak merupakan isu sensitif sehingga perlu diantisipasi jika forum tertutup dipergunakan untuk mengambil keputusan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dia mengatakan, aroma tak sedap yang mewarnai pembahasan RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi bola liar yang akan merusak kredibilitas program pengampunan pajak. Bahkan, dianggap bisa menjustifikasi dugaan bahwa maksud dan tujuan amnesti pajak tidak untuk kemaslahatan bangsa.
"Untuk itu KPK diharapkan proaktif mengawal proses pembahasan RUU agar terjamin steril dari politik transaksional. Siapa pun yang mengambil keuntungan secara tidak bertanggung jawab selama pembahasan RUU Pengampunan Pajak harus ditindaklanjuti dengan hukuman berat," tegasnya.
Yustinus menambahkan, semua pihak kini menunggu kepastian program pengampunan pajak dan itu sangat tergantung pada pembahasan RUU Pengampunan Pajak di DPR. Menurutnya, terkatung-katungnya nasib RUU Pengampunan Pajak telah menyandera wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak ke dalam situasi dilematis.
(ags/gen)