Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak melemah pada perdagangan Senin (13/6), tertekan oleh dolar AS yang kuat dan prospek ekonomi yang suram di Eropa dan Asia, tetapi didukung oleh pelemahan pasokan berkelanjutan di Nigeria.
Seperti dilansir
Reuters, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) menyatakan, produksi turun 100.000 barel per hari (bph) pada Mei, yang dipimpin oleh Nigeria. OPEC menyatakan potensi defisit pasokan pada paruh kedua tahun ini jika terus mencatatkan produski seperti bulan Mei.
Harga minyak Brent berjangka turun 19 sen, atau 0,4 persen, pada US$50,35 per barel, sementara minyak mentah CLc1 AS melemah 19 sen, atau 0,4 persen, ke level US$48,88 per barel.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pekan lalu, harga minyak mentah mencapai level tertinggi pada 2016 di atas US$50 per barel di tengah kekhawatiran tentang sabotase fasilitas minyak di Nigeria.
Indeks Dolar DXY telah meningkat sekitar 1,4 persen dari posisi terendah bulan Juni, terangkat oleh kekhawatiran keluarnya Inggris dari zona Eropa (Brexit), kekhawatiran tentang Asia dan kegelisahan tentang kenaikan suku bunga AS yang potensial. Dolar AS yang kuat membuat impor bahan bakar lebih mahal bagi negara-negara yang menggunakan mata uang lainnya.
"Terdapat sedikit titik perubahan untuk pasar minyak sekarang, dengan faktor makro dan meningkatnya jumlah rig di atas sentimen negatif. Sementara Niger Delta Avengers adalah pengingat yang baik bahwa geopolitik kemungkinan akan lebih buruk sebelum mereka menjadi lebih baik," kata Michael Tran , direktur strategi energi RBC Capital Markets di New York.
Para pedagang menyatakan kekhawatiran Inggris akan memilih untuk meninggalkan Uni Eropa menyebabkan saham jatuh, dan selanjutnya bisa menghambat penguatan minyak. Selain itu, terdapat juga kekhawatiran tentang goyahnya pertumbuhan ekonomi China, yang sebagian besar disebabkan kelebihan kapasitas industri dan banyaknya utang.
"Investor tampaknya telah mundur dari aksi beli menjelang pertemuan petinggi bank sentral AS minggu ini atau referendum Inggris terhadap keanggotaan Uni Eropa pada 23 Juni," kata Tim Evans, spesialis energi berjangka di Citi Futures.
Ketidakpastian atas pertemuan kebijakan petinggi bank sentral AS pekan ini telah menekan minyak. Hal itu terjadi meskipun bank sentral AS diperkirakan menetapkan suku bunga tidak berubah.
Meningkatnya jumlah rig AS selama dua minggu ini telah membuat beberapa investor tidak yakin terhadap meningkatnya produksi minyak mentah.
(gir)