Protes Cukai Kemasan Plastik, Kemenperin Surati Kemenkeu

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 30 Jun 2016 10:10 WIB
Kementerian Perindustrian menilai bertambahnya beban operasional akibat pengenaan cukai kemasan plastik akan melemahkan daya saing industri.
Kementerian Perindustrian menilai bertambahnya beban operasional akibat pengenaan cukai kemasan plastik akan melemahkan daya saing industri. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) telah menyurati Kementerian Keuangan (Kemenkeu) perihal pengenaan cukai kemasan plastik yang dianggap semakin memberatkan beban operasional industri. Kemenperin juga menganggap pengenaan cukai ini juga bisa merugikan konsumen.

Menteri Perindustrian, Saleh Husin mengatakan, bertambahnya beban operasional akibat pengenaan cukai kemasan plastik akan melemahkan daya saing industri. Hal ini, jelasnya, sangat bertentangan dengan keinginan Pemerintah yang justru malah ingin meningkatkan daya saing industri.

"Betul memang ada potensi penerimaan di situ, tapi itu kan harus dipikirkan juga daya saingnya. Kalau daya saing lemah, terus industri tutup kan malah tidak ada pendapatan ke cukai. Malah ini hanya kelihatan bagus di atas kertas saja, sedangkan kami tidak bisa melihat hanya lihat satu sisi," jelas Saleh ditemui di kantornya Rabu malam (29/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menambahkan, masalah daya saing merupakan satu dari tiga dampak yang timbul jika pengenaan pajak ini tetap berlangsung. Dampak lainnya, tambah Saleh, adalah wujud disharmonisasi kebijakan yang saat ini sedang disosialisasikan Pemerintah dan bahkan sudah diterapkan.

Namun menurutnya, dampak yang paling buruk adalah menurunnya konsumsi produk minuman sehingga menyebabkan perlambatan industri minuman dan industri plastik/kemasan plastik itu sendiri. Apalagi, industri makanan dan minuman menyumbang kontribusi terbesar di dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

Menurut data Kemenperin, pertumbuhan industri makanan dan minuman tumbuh 7,55 persen sepanjang triwulan I 2016. Capaian ini turut mendongkrak industri industri non migas yang tumbuh 4,46 persen pada periode yang sama.

Di sisi lain, industri pengolahan non-migas menyumbang sebesar 18,41 persen terhadap PDB, di mana kontribusi terbesar diberikan oleh industri makanan dan minuman dengan porsi sebesar 31,5 persen.

"Kami berikan alasan-alasan tersebut dan kami sudah sampaikan langsung ke Kemenkeu bahkan hingga Presiden. Apa yang kami lakukan tentu kan demi menjaga daya saing industri," ujarnya.

Ia juga menentang anggapan bahwa kemasan plastik dianggap berbahaya dan dapat mencemari lingkungan. Saleh beralasan, sebagian besar industri menggunakan kemasan plastik yang daur ulang.

"Karena kemasan plastik berbagai ukuran dan bentuk untuk minuman dapat didaur ulang, dan saat ini sudah ada industri recycle-nya. Hampir 70 persen produk minuman dikemas dalam plastik yang bisa didaur ulang," pungkas Saleh.

Sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Indonesia menerangkan, Pemerintah bisa dirugikan Rp528 miliar dalam setahun jika tetap memberlakukan pemungutan cukai pada kemasan botol plastik.

Perhitungan itu didasarkan atas penetapan tarif cukai sebesar Rp50 per kemasan gelas plastik dan Rp200 per kemasan botol plastik dengan konsumsi kemasan botol plastik mencapai 20 miliar per tahun, di mana Pemerintah akan mendapatkan penerimaan cukai sebanyak Rp1,91 triliun per tahun.

Namun, di sisi lain, pemungutan itu justru membuat Pemerintah kehilangan penerimaan pajak lainnya, yakni pajak penjualan minuman sebanyak Rp2,44 triliun per tahun yang terdiri dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). (gir/gen)
TOPIK TERKAIT
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER