Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) mengeluhkan kewajiban setoran uang muka investasi ketenagalistrikan sebesar 10 persen dari nilai proyek kepada perbankan dalam negeri. Kewajiban yang ditetapkan PLN tersebut dianggap memberatkan perusahaan listrik kecil.
Pria Djan, Sekretaris Jenderal APLSI menjelaskan, tidak banyak perusahaan listrik swasta yang sudah memiliki dana investasi sebelum tenggat kewajiban pembayaran tiba (
financial closing). Dengan ketentuan tersebut, PLN menurutnya memang mampu menyeleksi investor yang benar-benar berniat berinvestasi di program ketenagalistrikan.
“Namun peluang perusahaan listrik dalam negeri untuk masuk ke dalam investasi ketenagalistrikan menjadi kecil. Karena biasanya yang mampu menyetor kewajiban uang muka 10 persen adalah investor bermodal besar, yang umumnya berasal dari luar negeri. Tentu ini sangat memberatkan pengusaha nasional," ujar Pria, kemarin malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia melanjutkan, PLN seharusnya bisa menilai keseriusan investor melalui uji tuntas (
due dilligence) kepada masing-masing peserta tender ketenagalistrikan dan memeriksa rekam jejaknya (
track record) ketimbang membebani dengan uang jaminan. Dengan syarat itu, ia yakin tak ada lagi jual-beli izin investasi ketenagalistrikan seperti yang terjadi sebelumnya.
"Kalau pengusaha di bidang listrik itu tidak pernah main-main, prosesnya panjang dan memang harus sabar. Makanya melihat
track record itu penting, karena itu cerminan keseriusan investor," ujarnya.
Kendati demikian, ia menilai kewajiban pembayaran uang muka tersebut harus tetap ada karena menjadi tolok ukur keseriusan penanam modal. Namun, ia berharap ada keringanan bagi pengusaha lokal, utamanya bagi proyek-proyek pembangkit yang 51 persen sahamnya dikuasai oleh pengembang dalam negeri.
"Kami menginginkan kewajiban uang muka kalau bisa 1 persen saja, jika di dalam proyeknya ada kepemilikan lokal di atas 51 persen lokal," ujar Pria.
Sebelumnya, Menteri ESDM Sudirman Said juga mengkritik kebijakan PLN tersebut karena dianggap mempersulit proses tender
Independent Power Producer (IPP) di dalam proyek 35 ribu Megawatt (MW). Apalagi menurutnya, itu bertentangan dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 tahun 2015 yang bertujuan memperingkas proses lelang.
"Banyaknya syarat-syarat tambahan dari PLN menyebabkan pasar bertanya-tanya tentang keseriusan Pemerintah di dalam proyek 35 ribu MW," jelas Sudirman, bulan lalu.
(gen)