Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Senin (25/7) pagi saya mendapat pesan singkat dari kawan lama. Isinya menginformasikan, “Bu Ani (Sri Mulyani Indrawati) ke Indonesia.” Pesan singkat yang biasa dikirimkannya setiap Managing Director Bank Dunia itu pulang kampung.
Bedanya, kunjungan Ani kali ini dilakukan ketika isu mengenai perombakan Kabinet Kerja menguat. Dugaan saya ternyata benar, karena salah satu alasannya mudik adalah untuk menerima pinangan Presiden Joko Widodo.
Sore hari Rabu (27/7), Ani kembali ke Kantor Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, untuk menakhodai lagi kementerian itu, instansi yang mengawali reformasi birokrasi ketika dipimpinnya dulu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak ada keraguan sedikit pun terhadap kapasitas Ani sebagai bendahara negara. Yang jadi pertanyaan saya justru, "
Kok ya masih mau Bu Ani kembali ke Lapangan Banteng (Kementerian Keuangan)?
Enggak kapok apa menghadapi dinamika politik anggaran yang pernah mendepaknya?"
Banyak pengalaman emosional yang pernah dialami Ani di Lapangan Banteng. Mulai dari kisah menyenangkan, menyedihkan, hingga yang membuatnya marah besar.
Tak terlalu penting mengulas kisah menyenangkan Ani di Lapangan Banteng, seperti saat-saat mendengarnya beryanyi atau ketika bermain voli. Menarik justru mengingat kembali peristiwa yang pernah merusak emosi Ani ketika menjadi pembantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ketika krisis ekonomi 2008, misalnya, masa-masa yang memeras keringat dan menguras waktu para pejabat negara. Suatu hari pada pertengahan Oktober, Ani menggelar rapat pimpinan Kemkeu secara estafet, dari pagi hari hingga tengah malam.
Misinya saat itu meredam dampak krisis
subprime mortgage di Amerika Serikat terhadap perekonomian Indonesia.
Menjelang senja, kabar duka menyela agenda. Ibunda Ani, Retno Sriningsih dikabarkan meninggal dunia. Rapat diskorsing sementara, Ani keluar ruang menyeka air mata dan menghela nafas sejenak. Dia lantas melanjutkan rapat hingga larut malam, hingga anak dan suaminya, Tony Sumartono menjemput.
Lalu pada medio 2009, Ani membuat gebrakan yang mengganggu bisnis mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang juga petinggi Partai Golkar Aburizal Bakrie. Awalnya, Ani menghentikan alokasi anggaran penanganan bencana lumpur Sidoarjo, yang berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan kesalahan PT Lapindo Brantas.
Tak lama berselang, Ani menginstruksikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mengusut tunggakan utang pajak dan royalti batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resources Tbk (Bumi), dan PT Arutmin Indonesia. Nilai total tunggakan pajak ketiga perusahaan tambang milik keluarga Bakrie itu mencapai Rp2 triliun.
Konflik keduanya tampak semakin meruncing saat pemerintah dan Bakrie berebut 10 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT). Dalam kasus ini, Bakrie dimenangkan ketika rapat koordinasi yang dipimpin Menko Perekonomian Hatta Radjasa menyerahkan hak divestasi ke pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB).
Rangkaian kebijakan itu pula yang akhirnya memaksa Ani hengkang dari Indonesia. Puncaknya ketika politikus Senayan mempermasalahkan kasus
bailout Bank Century pada akhir 2008.
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FJPP) sebesar Rp689,39 miliar ke Bank Century saat itu menyeret Ani dan Boediono yang saat itu menjabat Gubernur Bank Indonesia, selaku Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) ke dalam pergulatan politik dan hukum yang kurang nyaman.
Keputusan sulit yang kabarnya pernah membuat Ani marah besar terhadap jajaran Gubernur BI.
Di tengah desakan hukum dan ancaman koalisi pecah, berbekal restu SBY, akhirnya Ani hijrah ke Bank Dunia sebagai direktur pelaksana. Lamban laun suhu politik mereda, imbas krisis keuangan dapat dikendalikan, dan hiruk-pikuk kasus Bank Century pun perlahan sirna.
“Saya ingin mengatakan bahwa saya menang. Saya berhasil. Kemenangan dan keberhasilan saya definisikan menurut saya karena tidak didikte oleh siapapun termasuk mereka yang menginginkan saya tidak di sini,” ujar Sri Mulyani menjelang kepergiaannya ke Amerika Serikat, Mei 2010.
Enam tahun berjalan, Ani akhirnya kembali ke Indonesia. Dia mendapatkan kembali kursi Menteri Keuangan, tawaran jabatan Jokowi yang kabarnya pernah ditolak pada 2014.
Kondisi politik dan ekonomi Indonesia saat ini tentu berbeda dengan kondisi ketika Ani hijrah ke Bank Dunia. Namun tantangan yang dihadapi mungkin hampir sama atau bahkan lebih berat.
Kapasitas fiskal yang terbatas dalam menstimulus ekonomi menjadi salah satu tugas berat Ani memaksimalkan peran anggaran negara. Sementara itu, soliditas koalisi pemerintah kembali diuji dengan masuknya sejumlah partai oposisi ke dalam pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Sisi positifnya, tentu koalisi yang kuat dapat memperlancar proses politik anggaran di parlemen. Namun belajar dari pengalaman sebelumnya, peta politik sangat mungkin berubah dan bisa saja berbalik menghambat kerja para pengambil kebijakan.
Di tengah euforia penunjukan Ani sebagai Menkeu, saya menyempatkan mengganti saluran televisi untuk menengok Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Golkar. Aburizal Bakrie dalam pidatonya menegaskan, dukungan politik Golkar terhadap pemerintahan Jokowi-JK sebagai bentuk rekonsiliasi politik.
Semoga itu bukan sinetron politik, yang sebenarnya sudah dipahami betul oleh Ani. “Saya bukan dari partai politik, saya bukan politisi, tapi tidak berarti saya tidak tahu politik,” ujar Ani.
Welcome back, Bu Ani. Selamat melanjutkan reformasi birokrasi.
(gir/yns)