Jakarta, CNN Indonesia -- Kendati kondisi ekonomi mengalami berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri, industri rokok pada paruh pertama tahun ini sedang berada di atas angin.
Hal ini terlihat dari empat perusahaan tercatat (emiten) rokok yang mengalami kenaikan pendapatan di semester I 2016 dari periode yang sama tahun sebelumnya, meski tidak semuanya mencetak laba.
PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk merupakan emiten yang meraup laba paling tinggi yaitu 22,69 persen menjadi Rp6,148 triliun dari sebelumnya Rp5,011 triliun. Hal ini sejalan dengan naiknya pendapatan sebesar Rp47,336 triliun atau naik 8,21 persen dari Rp43,742 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, kenaikan diikuti PT Gudang Garam Tbk yang laba bersihnya tumbuh 19,44 persen menjadi Rp2,869 triliun dari sebelumnya Rp2,402 triliun. Adapun, pendapatan perusahaan tumbuh 11,24 persen dari Rp36,962 triliun menjadi Rp33,962 triliun.
Terakhir, laba PT Wismilak Inti Makmur tumbuh 5,41 persen menjadi Rp60,696 miliar dari sebelumnya Rp57,580 miliar. Sementara, untuk pendapatan hanya tumbuh 2,65 persen menjadi Rp902.649 miliar dari Rp879,310 miliar.
Sementara itu, PT Bantoel Internasional Investama mengalami kerugian pada semester I ini sebesar Rp675,949 miliar atau menipis 8,78 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya Rp740,993 miliar.
Meski mengalami kerugian, emiten berkode RMBA ini merupakan emiten yang meraup pendapatan paling tinggi dibandingkan dengan ketiga emiten lainnya, yaitu sebesar 23,21 persen atau menjadi Rp9,643 triliun dari Rp7,826 triliun.
Berdasarkan riset Mandiri Sekuritas pada pertengahan Juli lalu, pengecer mulai lebih agresif dalam meningkatkan harga rokok seiring berakhirnya periode puasa. Hal ini terlihat dari naiknya rata-rata penjualan rokok pada bulan Juli sebesar 1 persen secara bulanan.
Dengan begitu, rata-rata kenaikan harga rokok pada Juli sebesar 6,3 persen jika dibandingkan dengan harga rata-rata rokok akhir tahun 2015. Mandiri Sekuritas memperkirakan produk baru dari Bantoel Internasional, yaitu Lucky Strike Mild dapat menarik perhatian perokok karena brand dan harga yang kompetitif.
Sementara, Hanjaya Mandala menaikkan harga rokoknya sebesar 1,6 persen secara bulanan. Produk U Bold merupakan pendorong pertumbuhan untuk perusahaan berkode HMSP ini pada Juli 2016 sebagai
brand yang mencatat pertumbuhan sebesar empat persen secara bulanan. Kemudian diikuti oleh produk Magnum Biru 16, di mana rata-rata penjualannya meningkat sebesar 2,6 persen.
Kemudian, untuk harga rokok Gudang Garam relatif datar selama bulan ini, dengan GG Surya 16 mencatat pertumbuhan tertinggi untuk kelompok dengan pertumbuhan relatif rendah, 0,5 persen secara bulanan.
Untuk perkembangan cukai banderol sendiri, Mandiri Sekuritas tidak menemukan adanya pergerakan harga cukai banderol selama Juli 2016. Perusahaan-perusahaan tembakau terlihat menahan kenaikan harga dikarenakan volume yang lemah belakangan ini.
Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menyatakan, industri rokok di Indonesia memang menarik, karena meskipun produsen rokok menaikkan harga rokoknya, mereka tetap tidak ditinggalkan oleh konsumen.
“Karena di Indonesia dalam krisis pun tetap bagus penjualan rokoknya. Di Indoneia ini orang menganggur saja merokok, jadi makanya industri rokok masih terus tumbuh penjualannya,” tutur Hans Kwee kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (3/8).
Selain itu, produsen rokok juga dinilainya berhasil melakukan transformasi sehingga konsumen terlihat bergengsi jika merokok. Produsen rokok terus mengeluarkan produk rokok yang ringan sehingga masih banyak masyarakat yang dapat menikmati rokok.
Di samping itu, rencana pemerintah yang akan menaikkan kembali tarif cukai hasil tembakau (CHT) tahun ini tentunya akan berpengaruh terhadap kinerja produsen rokok.
Namun, Hans menyatakan pengaruhnya tidak akan signifikan, karena daya beli masyarakat Indonesia terhadap rokok masih tinggi. Selain itu, perusahaan rokok akan menaikkan harga jual agar beban yang ditanggung tidak membengkak.
“Mereka pasti menaikkan harga jual jadi menguntungkan poerusahaan rokok, beban diberikan ke konsumen. Harga rokok tinggi tapi orang tetap merokok, jadi perusahaan tidak akan terlalu tertekan,” jelasnya.
Meski industri masih positif hingga saat ini, tetapi Hans memprediksi industri rokok akan turun dalam dua hingga tiga tahun ke depan. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat yang semakin tinggi akan kesehatan. Terlebih lagi sudah banyak masyarakat Indonesia yang terkena serangan jantung di usia muda.
Analis Minna Padi Investama Padi, Frederick Rasali menyatakan, penjualan bagi industri rokok akan terus berkembang karena rokok sendiri sudah menjadi kebutuhan pokok bagi beberapa konsumen. Dengan begitu, volume penjualan akan terus meningkat.
“Volume penjualan kemungkinan akan terus meningkat atau dalam keadaaan terburuk sekalipun volume penjualan akan stagnan,” kata Frederick.
Namun, rencana pemerintah yang akan menaikkan tarif CHT bisa berdampak buruk pada kinerja emiten rokok. Untuk solusinya, Frederick menjelaskan, dengan meningkatkan harga rokok. Menurutnya, hal tersebut kemungkinan tidak akan mempengaruhi volume penjualan terlalu signifikan. Hal ini karena emiten rokok sendiri tidak terlalu sensitif dengan harga.
“Cukai bisa menjadi masalah. Margin dari dua emiten terbesar bisa tergencet. Tapi rokok sendiri tidak sensitif dengan harga,” terangnya.