Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyatakan target produksi minyak siap jual (
lifting) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017 sebesar 780 ribu barel per hari (bph). Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjanji akan melakukan segala upaya agar realisasi
lifting 2017 tidak berbeda jauh dengan target dalam APBNP 2016 sebesar 820 ribu bph.
Menyikapi hal tersebut, Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Kurtubi berpendapat, saat ini Indonesia belum menemukan produksi dalam jumlah banyak yang berasal dari lapangan migas baru.
Sementara itu, produksi yang dihasilkan dari sumur-sumur
existing terus mengalami penurunan, sehingga ada ketidakseimbangan antara pertumbuhan produksi dari lapangan migas baru dan rasio penurunan (
declining rate) dari lapangan migas yang telah lama berproduksi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka dari itu, Kurtubi menjelaskan, Indonesia mau tidak mau harus menggantungkan asa pada produksi blok Cepu, yang saat ini dioperatori oleh ExxonMobil Cepu Ltd.
"Kalau memang ingin ditingkatkan, mau tidak mau Indonesia masih mengandalkan lapangan migas yang sudah ada. Sehingga, kembali lagi, blok Cepu menjadi satu-satunya harapan
lifting, kalau memang targetnya ditingkatkan lagi," jelas Kurtubi, akhir pekan lalu.
Kendati demikian, bukan berarti target
lifting minyak menjadi hal yang mustahil. Kurtubi sendiri berharap, pemerintah mau meningkatkan target
lifting-nya agar Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) bisa bekerja dengan maksimal di hulu migas.
"Saya juga malah sepakat dengan pemerintah untuk meningkatkan target
lifting. Lebihkan saja sampai 800 ribu bph, sehingga SKK Migas bisa lebih gencar lagi. Selain itu, saya pun termasuk salah satu yang mendukung optimasi produksi blok Cepu di DPR agar target lifting bisa meningkat," jelasnya.
Melengkapi ucapan Kurtubi, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, peningkatan produksi blok Cepu sebenarnya sah-sah saja dilakukan. Namun, itu tidak bisa dilakukan dengan mudah, mengingat kenaikan produksi perlu diiringi dengan revisi rencana pengembangan (
Plan of Development/PoD) blok Cepu.
"Menambah produksi blok Cepu sendiri tidak semudah membuka keran air, karena perlu ada penambahan belanja modal (
capital expenditure) serta Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), karena
setting produksi dari maksimal 180 ribu bph ke angka 200 ribu bph punya syarat Amdal yang berbeda," jelas Komaidi.
Di samping itu, Komaidi mengatakan tidak ada salahnya pemerintah menaikkan produksi
lifting asal produksi lapangan migas baru yang onstream tahun 2017 bisa memastikan hal tersebt.
"Karena biasanya kalau lapangan
onstream kan grafiknya meningkat terus selama sekian tahun sebelum mencapai
peak-nya," imbuhnya.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan
lifting minyak di nota keuangan RAPBN 2017 sebesar 780 ribu per bph, dengan harapan bisa menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp45,1 triliun. Namun, Kementerian ESDM ingin mengusulkan kenaikan target lifting dengan menekan angka rata-rata tingkat penurunan produksi alami (
natural declining rate) lapangan migas, yang saat ini berada di angka 18 persen.
"
Lifting minyak tahun depan sedang kami kalkulasi untuk bergerak ke atas, karena kami ingin mencoba menekan natural
declining rate saat ini sebesar 18 persen. Ya tentu caranya dengan mengoptimalkan lapangan migas yang tengah berproduksi," jelas Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja, Kamis pekan lalu.
(gen)