Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus dipastikan asosiasi produsen rokok sebagai berita bohong dan hanya membuat gaduh industri hasil tembakau (IHT). Oleh karena itu, masyarakat diimbau untuk mengabaikan isu tersebut.
"Kenaikan harga ini menyesatkan dan membuat kegaduhan. Sebaiknya, masyarakat mengabaikan gosip jahat yang tidak jelas asal muasalnya ini," ungkap Ismanu Soemiran, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) ketika dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (22/8).
Tak hanya itu, Ismanu juga menilai, wacana kenaikan harga rokok ini baru sebatas kabar angin. Sebab selama ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) memiliki mekanisme yang jelas sesuai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2007 tentang Cukai ketika hendak menetapkan tarif cukai hasil tembakau (CHT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah sudah punya mekanismenya dan setiap rencana kenaikkan selalu didiskusikan dengan semua elemen sehingga tarifnya tentu hasil kesepakatan bersama," lanjut Ismanu.
Muhaimin Moeftie, Ketua Umum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gapprindo) memastikan, wacana kenaikan harga rokok hingga Rp50 ribu per bungkus tidak akan terjadi. Pasalnya, pemerintah telah menyatakan sikapnya pada isu tersebut.
"Itu bukan dari pemerintah. Bahkan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai sudah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada rencana menaikkan harga rokok sampai sebegitu tinggi," ujar Muhaimin.
Ia meminta agar pemerintah bisa menetapkan tarif CHT yang tidak berbeda jauh dengan angka inflasi di Indonesia.
"Rencananya akan dinaikkan rata-rata 10-11 persen tapi kalau rata-rata berarti bisa saja ada yang dikenakan 15 persen. Jadi, kita mintanya sekitar besaran inflasi saja, 5-6 persen," kata Muhaimin.
FleksibelMerebaknya usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp50 ribu per bungkus, santer dibicarakan karena merupakan hasil studi Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany dan rekan-rekannya.
Studi tersebut menyimpulkan bila harga rokok dinaikkan menjadi Rp50 ribu per bungkus akan membuat sebanyak 72 persen dari seribu orang berhenti merokok.
Namun, hal ini justru ditampik oleh Gapprindo. Pasalnya, Ia menilai, perokok memiliki sifat fleksibel yang tinggi.
"Perokok kalau tidak bisa mengkonsumsi rokok A karena harganya terlalu tinggi, tentu dia akan cari rokok B yang harganya lebih rendah. Kalau tidak bisa juga mungkin lama-kelamaan akan lari ke rokok ilegal," keluh Muhaimin.
Oleh karena itu Muhaimin menilai hasil studi tersebut tidak relevan, karena adanya sifat fleksibel yang melekat pada perokok.
Di lain sisi, Muhaimin juga khawatir jika perokok lebih memilih rokok ilegal maka semua elemen penunjang industri hasil tembakau (IHT) dari hulu sampai hilir justru akan merugi.
“Terutama negara karena tidak akan mendapatkan keuntungan cukai dari rokok ilegal,” katanya.