Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Indonesia menjadi negara dengan pasar e-
commerce terbesar di antara lima negara lain di Asia Tenggara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hasil riset Euromonitor menyebutkan, nilai transaksi e-
commerce di Indonesia tahun lalu mencapai US$1,1 miliar.
Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara pernah menyebut, potensi transaksi e-
commerce tahun ini akan mencapai Rp300 triliun atau setara dengan US$25 miliar. Paling sedikit, pertumbuhan e-
commerce menyentuh 60 persen hingga 70 persen per tahun.
Hal ini wajar karena dari 250 juta penduduk, ada 83,6 juta atau sepertiga di antaranya merupakan pengguna internet. Jumlahnya diperkirakan tembus 105 juta di tahun ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi jangan heran apabila Indonesia menjadi surga bagi perkembangan industri e-
commerce.
E-
commerce ini tidak hanya menyentuh sektor ritel perdagangan barang dan jasa, seperti Zalora dan Blibli atau transportasi
online, seperti Uber, Go-Jek, dan Grab. Tetapi juga layanan keuangan dengan platform yang berbeda-beda seperti penyalur pinjaman, gadai, alat pembayaran,
peer to peer lending, pembanding produk dan layanan lembaga keuangan.
Di sektor keuangan, layanan ini dikenal sebagai
financial technology atau
fintech.
Hitung-hitungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), saat ini perintis
fintech ada sekitar 30 pelaku. Enam di antaranya menawarkan produk asuransi dan sisanya banyak menawarkan pinjaman, peer to peer lending, dan jasa perantara.
Namun jumlah bank yang ikut terjun ke dalamnya hingga saat ini cuma dalam hitungan jari. Lalu apakah
fintech merupakan ancaman atau tantangan bagi industri perbankan?
Salah satunya adalah PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, melalui Mandiri Capital Indonesia (MCI). Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo menyebut, pembentukan MCI merupakan inisiatif perseroan untuk menangkap momentum pertumbuhan perusahaan startup di Indonesia, terutama di sektor keuangan.
PT Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk (BTPN) juga mulai membangun aplikasi keuangan bertajuk Jenius. Tak tanggung-tanggung, BTPN merogoh kocek sampai Rp500 miliar untuk investasi aplikasi pintarnya tersebut.
Lalu, apakah bank yang fokus pada pensiunan ini ingin menjadi salah satu pelaku
fintech? Saya kira, belum sejauh ini. Upaya ini semata agar BTPN tak ketinggalan kereta dalam persaingan bisnis dengan
fintech.
Malas InovasiPT Bank Amar Indonesia melalui Tunaiku malah sudah mulai menjalankan bisnis
fintech-nya sejak tahun lalu, dan berkompetisi dengan pelaku
fintech lainnya, seperti Modalku, Uangteman, Investree, dan lainnya.
Sayang, kebanyakan pelaku usaha sektor keuangan masih berdiam diri melihat
fintech tumbuh dan berkembang. Entah, apakah karena gagap teknologi (gaptek) atau malas berinovasi lantaran sudah tumbuh subur.
Indeks Keuangan Inklusif Indonesia pada tahun 2014 silam hanya sebesar 36 persen atau jauh berada di bawah indeks negara Asia Tenggara lain seperti Thailand (78 persen) dan Malaysia (81 persen).
Padahal, dengan memperkuat bisnis
fintech di Indonesia, cita-cita pemerintah untuk meningkatkan penetrasi pasar keuangan nasional akan terwujud. Melalui
fintech, edukasi mengenai produk dan layanan keuangan jadi lebih menarik.
Selain itu, akses masyarakat menjadi lebih luas lagi sehingga akhirnya
fintech akan mendongkrak daya beli masyarakat terhadap produk-produk keuangan.
Bukan tidak mungkin jika
fintech akan menjadi gurita di bisnis keuangan di Indonesia.
(gen)