Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha menilai paket kebijakan ekonomi yang terkait dengan industri properti masih perlu disinkronisasi dan disesuaikan dengan permasalahan yang ada demi memuluskan akselerasi ekonomi.
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi menyatakan, sebenarnya Pemerintahan Joko Widodo telah menyasar industri properti sejak awal peluncuran paket kebijakan ekonomi, tetapi perlu diperjelas lagi.
“Saya kira perlu
fine tuning. Seperti dalam paket kebijakan ekonomi I, pemerintah membuka kepemilikan orang asing terhadap rumah susun mewah dengan harga Rp10 miliar ke atas. Masih perlu diperjelas,” ujarnya kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (7/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Theresia menilai kebijakan ekonomi tersebut masih lemah secara ketetapan hukum. Hal itu, lanjutnya, membuat kebijakan tersebut menjadi kurang menarik.
“Kalau bicara kepemilikan properti orang asing, masih harus dibenahi masalah sertifikasi. Terkait hak pakai itu setara atau tidak dengan hak guna bangunan, dalam artian bisa dijaminkan di bank. Kalau tidak, ya kurang menarik,” ungkapnya.
Perempuan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Realestat Indonesia (REI) ini menjelaskan, tujuan kejelasan status kepemilikan tersebut sebenarnya bukan untuk pembiayaan properti orang asing, tapi lebih ke kredibilitas status.
“Kedua, masalah pembiayaan properti, dalam hal ini KPR [Kredit Pemilikan Rumah] kepada orang asing. Sekali lagi, tujuannya bukan ke pembiayaan, tapi ke kepastian hukum dan kredibilitas pembelian tersebut,” kata Theresia.
Sementara, terkait kebijakan Dana Investasi Real Estate (DIRE) dalam paket ekonomi XI, ia menilai masalah utama masih berada di besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pasalnya, keinginan pemerintah pusat untuk menyunat BPHTB dari 5 persen menjadi 1 persen, tidak serta merta diikuti pemerintah daerah.
“Kami berharap insentif ini bisa diberikan oleh pemda, terutama daerah potensial seperti Jabodetabek, Surabaya dan Batam. Kami harap ada sama pemahaman, apalagi ini terkait potensi ekonomi untuk pemda itu sendiri,” jelasnya.
Selain itu, Theresia menyatakan aturan yang kurang jelas tersebut pada akhirnya membuat investor ragu, dan belum tercipta pasar yang bisa menyerap produk DIRE. Hal ini menurutnya menjadi masalah yang cukup rumit.
“Karena itu tidak jelas, maka
market-nya belum ada. Siapa yang akan membeli kalau belum jelas dan clear?” ungkapnya.
Lebih lanjut, terkait paket kebijakan ekonomi XIII yang membahas perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ia menilai masih membutuhkan waktu untuk dijalankan. Alasannya, lanjut Theresia, lagi-lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum sinkron.
“Pemangkasan perizinan
on process, karena perlu waktu cukup panjang karena yang berperan penting adalah pemerintah daerah. Jadi kebijakan pusat sudah baik, hanya tinggal bagaimana level operasional di daerah bisa jalan,” jelasnya.
(gir/gen)