Jakarta, CNN Indonesia -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan perusahaan layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) untuk memiliki bank kustodian pengelola dananya. Aturan tersebut berlaku khusus bagi fintech yang melakukan bisnis pinjam-meminjam peer to peer lending (P2P) dan bakal tertuang dalam beleid yang saat ini sedang diracik OJK.
"Iya itu harus (memiliki pengelola dana). Itu termasuk aspek perlindungan konsumen dan yang penting, fintech-nya harus terdaftar di OJK dulu," ujar Tuahta Aloysius Saragih, Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK, Senin (19/9).
Pasalnya, Peneliti Eksekutif Senior OJK Hendrikus Pasagi menilai, salah satu hal yang menjadi perhatian utama regulator pada platform P2P lending, yakni perlindungan dan keamanan dana konsumen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tanpa bank kustodian, kekhawatirannya, pelaku fintech platform P2P dapat menyalahgunakan dana, seperti pada kasus Ponzi Game, mengeluarkan pinjaman palsu, serta bentuk penipuan lainnya. Keberadaan bank kustodian dapat meminimalisir kekhawatiran ini karena dapat memastikan bahwa dana pemberi pinjaman tidak disalahgunakan oleh pengelola portal.
"Jangan sampai dana yang sudah disetor nasabah malah kabur dibawa lari dengan mudah begitu saja," tutur Hendrikus.
Dalam gagasan Departemen Penelitian OJK, bahkan regulator juga mewacanakan aturan yang mewajibkan perusahaan fintech bekerja sama dengan perusahaan asuransi atau penjaminan dan melakukan lindung nilai (hedging) apabila memiliki bisnis pinjaman dengan mata uang valuta asing (valas).
"Jadi, kalau orang yang meminjam gagal panen, misalnya, dan tidak bisa membayar utang maka ada asuransi yang menjamin," jelasnya.
Selain itu, perusahaan fintech juga akan diwajibkan memenuhi standar profil risiko layaknya lembaga keuangan konvensional lainnya. Perusahaan fintech wajib melaporkan susunan manajemen hingga mencantumkan rating atau kualitas pinjaman yang disalurkan ke masing-masing nasabah.
Aturan tersebut, menurut Hendrikus, adalah standar bisnis yang perlu diterapkan sesegera mungkin, mengingat bisnis fintech P2P lending tumbuh sangat pesat. Namun, Hendrikus menjamin, aturan yang akan dirilis oleh OJK tidak akan membatasi ruang gerak bagi perusahaan fintech untuk terus berinovasi.
Pasalnya, kehadiran fintech diharapkan dapat mengalirkan dana pinjaman dari luar negeri ke Indonesia dan mampu mempersempit kesenjangan yang ada.
OJK mencatat total kebutuhan pembiayaan di Indonesia mencapai sekitar Rp 1.649 triliun. Sementara, kapasitas pembiayaan oleh industri jasa keuangan tradisional hanya sekitar Rp660 triliun, sehingga terdapat kesenjangan (gap) sekitar Rp 988 triliun per tahun.
(bir/gen)