Kembali Minta PMN, BPJS Kesehatan Disebut Hanya Bebani Fiskal

Safyra Primadhita | CNN Indonesia
Kamis, 22 Sep 2016 14:57 WIB
Badan Anggaran DPR menyoroti kinerja Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang kembali meminta suntikan modal negara sebesar Rp3,6 triliun.
Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali meminta suntikan modal dari negara sebesar Rp3,6 triliun dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti kinerja Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, yang kembali meminta suntikan modal dari negara sebesar Rp3,6 triliun dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017.

Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, Said Abdullah mempertanyakan alasan pemerintah mengakomodir permintaan modal BPJS Kesehatan itu. Menurutnya, kebiasan perusahaan pelat merah mengemis Penyertaan Modal Negara (PMN) semacam itu tidak bisa didiamkan karena hanya akan menjadi beban fiskal.

"Kalau dibiarkan secara terus menerus, BPJS Kesehatan akan jadi beban fiskal," ujar Said ketika memipin rapat panitia kerja penyusun RAPBN 2017, Kamis (22/9).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menanggapi semprotan DPR itu, Sonny Loho, Direktur Jenderal Kekayaan Negara kementerian Keuangan berdalih, PMN tersebut dibutuhkan BPJS Kesehatan untuk menjaga kesinambungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada tahun depan.

Dia mengatakan, PMN itu akan difungsikan sebagai dana cadangan BPJS Kesehatan untuk mengantisipasi risiko defisit anggaran. Menurutnya,  BPJS Kesehatan sampai tahun depan masih akan dibayangi oleh risiko pengeluaran yang membengkak akibat iuran yang dibayarkan peserta tidak sebanding dengan biaya kesehatan yang harus ditanggungnya.

"Ada target iuran peserta tapi banyak yang nggak bayar iurannya," tutur Sonny.

Selain itu, kata Sonny, BPJS Kesehatan juga selama ini harus memberikan dana talangan bagi pasien rumah sakit yang bukan anggotanya dengan harapan pasien yang ditalangi menjadi peserta di kemudian hari.

"Namun ternyata setelah sembuh, orang tadi nggak bayar juga," ujarnya.

Secara terpisah, Kemal Imam Santoso, Direktur Keuangan BPJS Kesehatan, membenarkan adanya risiko  ketidaksinkronan antara penerimaan dan pengeluaran. Tahun ini,  contohnya, BPJS Kesehatan masih harus berjuang untuk mendapatkan PMN sebesar Rp6,8 triliun guna menutup defisit hingga akhir tahun.

Menurut Kemal, kolektibilitas iuran peserta, khususnya peserta bukan penerima upah (BUP), masih relatif rendah. Dari hampir 18 juta peserta BUP kolektibilitas iurannya hanya 60 persen.

“Jadi ada yang tidak taat membayar. Ada yang membayar lalu berhenti kemudian membayar lagi terus berhenti,” ujarnya.

Salah satu penyebab ketidaktaatan peserta diduga karena tidak ada sanksi denda jika peserta terlambat membayar iuran melainkan sanksi pelayanan.

Kendati demikian, Kemal mengingatkan, bahwa tidak mudah menghentikan layanan publik kepada seseorang yang terlambat atau tidak membayar iuran.

Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk meningkatkan kedisiplinan peserta dalam membayar iuran dengan menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam beleid tersebut peserta harus rutin membayar BPJS Kesehatan sebelum tanggal 10 setiap bulannya.

Selain itu, BPJS Kesehatan juga menerapkan kebijakan satu akun untuk satu keluarga. Jadi pembayaran iuran BPJS Kesehatan dalam satu kartu keluarga harus dilakukan bersamaan. (ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER