Inaplas: Pengenaan Cukai Plastik Kebijakan Ngawur

Agust Supriadi | CNN Indonesia
Senin, 03 Okt 2016 19:32 WIB
Dengan kebijakan cukai plastik, Inaplas memperkirakan industri petrokimia dan plastik hanya tumbuh di bawah 5,5 persen pada 2017 dari seharusnya 6,5 persen.
Suasana warga berbelanja di salah satu supermarket di kawasan pertokoan Ciamis, Jawa Barat, Sabtu (20/2). Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai rencana pemerintah mengenakan cukai terhadap kemasan plastik merupakan kebijakan keliru.(Antara Foto/Adeng Bustomi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Industri Olefin, Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) menilai rencana pemerintah mengenakan cukai terhadap kemasan plastik merupakan kebijakan keliru. Selain diyakini tidak akan efektif mengurangi sampah, kebijakan cukai tersebut dipastikan bakal memukul industri plastik nasional.

"Cukai plastik itu ngawur. Kalau masalahnya lingkungan, ya manajemen pengelolaan sampahnya yang diperbaiki, bukan dikenakan cukai," ketus Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/10).

Setelah kebijakan plastik berbayar gagal, kata Fajar, pemerintah mencoba mengenakan cukai untuk menekan konsumsi plastik. "Kalau mau perbaiki lingkungan, harusnya kita duduk bareng untuk bagaimana memperbaiki pengelolaan sampah," katanya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan catatan Inaplas, konsumsi produk plastik di Indonesia pada tahun lalu mencapai 4,7 juta ton. Dari jumlah tersebut, 30 persennya merupakan produk plastik kemasan.


Inaplas memperkirakan konsumsi plastik masih akan tumbuh sekitar 6-7 persen pada tahun ini sekalipun pemerintah menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar di ritel-ritel modern.

Dari sisi konsumsi, lanjut Fajar, rata-rata pemakaian kemasan plastik di Indonesia itu baru 20 kilo gram per orang per kapita. Rasionya jauh di bawah konsumsi plastik di negara-negara tetangga di Asean.

"Jadi sebenarnya masih potensial untuk terus dikembangkan. Selama manajeman sampahnya baik tidak akan masalah. Sebenarnya kan pemerintah yang tidak beres,  gagal mengelola sampah," tuturnya.

Kendati konsumsinya terus meningkat, Fajar mengatakan sampah plastik selama ini hanya berkontribusi sekitar 15 persen dari seluruh timbunan sampah di Indonesia. Sementara 85 persennya merupakan sampah non plastik.

"Sampah plastik tidak harus dibuang, tapi bisa dipilah-pilah dan didaur ulang. Bisa untuk campuran aspal atau dibuat campuran batako seperti di Amerika Latin," katanya.

Karenanya, kata Fajar, menjadi tidak pas jika cukai dijadikan alat untuk mengurangi sampah plastik. Kebijakan tersebut hanya akan menimbulkan ketidakpastian di sektor industri, terutama industri kemasan plastik, makanan dan minuman, serta ritel.

"Kalau sampai industri makanan dan minuman turun di bawah 9 persen, maka industri plastik bisa turun lagi menjadi di bawah 5 persen," kata Fajar.

Setelah pengenaan cukai terhadap kantong plastik, Fajar Budiono meyakini pemerintah akan memperluas barang plastik yang bakal dikenakan cukai. Saat ini sedikitnya ada 117 nomor HS (harmonized system) atas produk berbasis plastik, yang sebagian besar  merupakan kemasan produk impor.

"Kalau memang mau dibatasi konsumsi plastik, buat apa ada BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah) atas bahan baku plastik. Itu saja dicabut, dari pada pakai cukai. Volume impor produk plastik  itu 1 juta ton, apa semuanya juga akan dikenakan cukai? Kalau iya, industri dalam negeri bakal terpukul," tuturnya.

Prospek Negatif

Kalau tidak ada gangguan, Fajar Budiono meyakini industri petrokimia dan plastik Indonesia bakal tumbuh hingga 6,5 persen. Target pertumbuhan itu sejalan dengan optimisme pertumbuhan industri makanan dan minuman yang diyakini bakal tumbuh 9-10 persen.

"Tapi dengan adanya cukai plastik, paling-paling pertumbuhan industri hanya akan tumbuh di bawah 5,5 persen tahun depan," tuturnya.

Dampak kebijakan amnesti pajak, lanjut Fajar, akan menjadi tidak berarti bagi industri petrokimia dan plastik. Pasalnya, pengusaha atau investor kemungkinan bakal berpikir ulang untuk memutar dana repatriasi di industri petrokimia dan plastik dengan adanya ketidakpastian kebijakan cukai.

"Pemerintah mau kerja penerimaan cukai, tapi bakal kehilangan besar dari sisi PPh (pajak penghasilan) dan PPN (pajak pertambahan nilai)," tandasnya. (ags/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER