Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengeluhkan sejumlah wacana kebijakan fiskal yang disiapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) karena dinilai hanya akan memperlambat laju pertumbuhan industri di tengah kondisi ekonomi yang lesu. Salah satunya adalah penaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen untuk industri hasil tembakau tahun depan.
Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Willem Petrus Riwu mengatakan, wacana naiknya tarif PPN dari level 8,7 persen tahun ini menjadi langsung 10 persen tahun depan hanya akan memperburuk kinerja industri rokok yang sudah terpukul kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) setiap tahun.
Willem menjelaskan, saat ini, dari tahun ke tahun volume produksi rokok sudah semakin menurun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak dari mereka yang gulung tikar karena dampak kenaikan ini, tentu ini harus menjadi perhatian kita bersama," kata Willem, dikutip Rabu (12/10).
Ia memaparkan catatan Kemenperin yang menyebutkan, sepanjang 2015-2016 hanya 100 dari 600 perusahaan rokok yang mampu membayar CHT.
"Ini mengindikasikan bahwa kondisi industri ini sedang tidak baik. Kalau PPN naik juga, industri makin tercekik,” tegasnya.
Untuk itu, Kemenperin menurutnya bakal meminta Kemenkeu untuk mengkaji kembali rencana menaikkan tarif PPN tersebut agar tidak mempersulit upaya memperbaiki kinerja industri yang sedang menurun.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto sendiri mengaku belum mendiskusikan wacana kenaikan PPN rokok dengan Kemenkeu. Ia berpendapat wacana penyesuaian PPN rokok menjadi 10 persen akan membebani industri rokok mengingat pemerintah baru saja menetapkan tarif CHT rata-rata 10,54 persen per 1 Januari 2017.
"Apa yang naik pasti memberatkan. Kalau turun kan bisa cepat. Tapi nanti kita bahas dulu ya," ucap Airlangga.
Tahun ini, Kemenperin berharap pertumbuhan industri bisa mencapai angka 5,7 hingga 6,1 persen. Proyeksi peningkatan pertumbuhan tersebut didukung oleh peningkatan investasi pada kelompok industri tertentu yang terjadi pada 2014 dan 2015.
Sementara tahun lalu, Kemenperin mengaku tidak berhasil mencapai target pertumbuhan industri yang ditetapkan sebesar 6 persen di awal tahun. Meskipun telah merevisi angkanya menjadi 5,7 persen, namun sampai penghujung 2015 laju industri non migas hanya mencapai 5,2 persen.
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kemenperin menuturkan banyak faktor yang memengaruhi kinerja industri nasional tahun lalu. Dari dalam negeri, kombinasi antara penyerapan anggaran belanja pemerintah yang rendah serta lesunya daya beli masyarakat turut menekan kinerja industri.
Sementara dari eksternal, faktor anjloknya harga komoditas, ketidakpastian pasar uang global, serta perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama Indonesia menjadi penyebabnya.
(gen)