Akademisi Tentang Rencana Pemerintah Relaksasi Ekspor Mineral

CNN Indonesia
Kamis, 13 Okt 2016 18:50 WIB
Presiden Jokowi diminta untuk tidak meneken peraturan pemerintah yang melanggar kembali ketentuan dalam Undang-Undang Minerba.
Presiden Jokowi diminta untuk tidak meneken peraturan pemerintah yang melanggar kembali ketentuan dalam Undang-Undang Minerba. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma).
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah akademisi di bidang hukum menyorot rencana pemerintah untuk kembali merelaksasi izin ekspor mineral. Padahal, sesuai pasal 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) larangan ekspor mineral mentah tidak bisa lagi dilakukan karena harus dimurnikan di dalam negeri.

Ahmad Redi, Pengamat Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara mengungkapkan, relaksasi larangan ekspor dari 12 Januari 2014 menjadi 12 Januari 2017 sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2014 sebenarnya sesat secara hukum karena menyimpang dari UU Minerba.

“Sebagai sarjana hukum, sampai saat ini kita meyakini bahwa UU [Minerba] mengatakan bahwa pada 12 Januari 2014 itu tidak ada lagi ekspor mineral. Itu secara hukum. Kemudian ada kecelakan relaksasi sampai 2017, itu penyimpangan pertama,” kata Ahmad dalam acara diskusi Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di KAHMI Center, Kamis (13/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karenanya, ia sangat menyayangkan jika pemerintah kembali merelaksasi larangan ekspor minerba.

Ahmad mengatakan, pada Agustus 2016 lalu ia diundang oleh Pelaksana Tugas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Luhut Binsar Panjaitan untuk membicarakan soal relaksasi larangan ekspor minerba.

“Pak Luhut kekeuh bahwa relaksasi bisa dengan Peraturan Pemerintah. Saya bilang, ‘Pak Luhut, yang paling aman adalah melakukan perubahan UU atau melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU,” ujarnya.

“Suka tidak suka, secara hukum, kesalahan dalam UU Nomor 4 hanya bisa diperbaiki dengan peraturan yang levelnya sama. Ini bicara secara hukum. Ketika diterbitkan Peraturan Pemerintah lagi, ini bahaya.” ujarnya.

Ahmad berharap, jangan sampai nantinya Presiden Joko Widodo menandatangani aturan yag secara hukum menyimpang.

“Kasihan Presiden kalau menandatangani suatu produk hukum yang justru melanggar hukum. Walaupun untuk mengatakan itu melanggar hukum itu ranah pengadilan atau Mahkamah Agung,” ujarnya.

Menurut Ahmad, lambannya implementasi larangan ekspor minerba terjadi karena kesalahan pemerintah dan pelaku usaha. Pemerintah, hingga kini gagal dalam mengawasi dan membina pelaku usaha selama masa peralihan untuk hilirisasi.

“Pelaku usaha juga salah ketika tidak ada itikad baik untuk kemudian membangun smelter,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Pakar Hukum Universitas Indonesia Tri Hayati mengatakan, penyimpangan pelaksanaan UU bukan barang baru di Indonesia.

Ia mengingatkan, pada waktu amendemen UU Nomor 11 Tahun 1967 hingga akhirnya menjadi UU Nomor 4 Tahun 2009 pemerintah juga menyesuaikan dengan PP Nomor 75 tahun 2001.

“Sedih saya sebagai orang hukum melihat itu. Kok PP bisa menyampingkan atau mengeliminir Undang-undang,” ujarnya.

Namun demikian, Tri menjelaskan bahwa dalam penerapan peraturan perundang-undangan ada berbagai aspek yang dipertimbangkan seperti aspek filosofis, sosial, maupun aspek yuridis lainnya.

Secara hukum, pemerintah bisa membuat kebijakan dengan berbagai pertimbangan di luar pertimbangan juridis sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan.

“Seorang pejabat itu dimungkinkan, dibolehkan, untuk mengambil suatu kebijakan, diskresi, jika di dalam penyelenggaran pemerintahan ini dapat menimbulkan stagnasi,” ujarnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER