Jakarta, CNN Indonesia -- Di era layanan keuangan berbasis teknologi (fintech) saat ini, muncul berjibun model bisnis layanan keuangan. Mulai dari pemberi pinjaman layaknya bank, pengumpulan modal, penyelesaian transaksi pembayaran, hingga penyediaan pasar (
market provisioning).
Salah satu model bisnis fintech yang juga tak kalah unik adalah
peer to peer lending alias pinjam meminjam. Tak ubahnya
market place atawa lapak yang mempertemukan antara penjual dengan pembeli,
peer to peer lending juga mempertemukan mereka yang memberi pinjaman dengan mereka yang membutuhkan pinjaman.
Dalam
peer to peer lending, pemilik dana atau juga disebut investor bebas memilih kepada siapa mereka akan meminjamkan dananya. Sebaliknya, peminjam juga dapat menentukan dana yang bakal digunakannya. Namun, baik pemberi pinjaman maupun peminjam terlebih dahulu harus lolos kualifikasi untuk mejeng di
platform peer to peer lending.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Layaknya investor, pemberi pinjaman memperoleh
return dari setiap dana yang dicairkan. Sedangkan, peminjam membayar bunga atas dana yang mereka gunakan. Adapun, bunga yang dipatok berbeda-beda bergantung dari tenor dan risikonya yang dituangkan dalam
scoring kredit.
Saat ini, kebanyakan
scoring baru diberikan kepada peminjam. Bukan kepada pemberi pinjaman.
Scoring yang diberikan berdasarkan hasil analisis pemilik lapak yang dilihat dari tingkat penghasilan, kesehatan keuangan, riwayat pekerjaan, tingkat pendidikan, dan lain sebagainya.
"Semakin tinggi risiko, maka semakin tinggi bunga yang harus dibayar peminjam. Sebaliknya, semakin rendah risiko, maka semakin rendah pula bunga yang dibayar peminjam,” ujar Adrian Gunadi, Chairman dan Co-Founder Investree saat berkunjung ke kantor CNNIndonesia.com, akhir pekan lalu.
Investree merupakan salah satu fintech
peer to peer lending yang lahir pada Oktober 2015 lalu. Perusahaan ini mulai menjalankan operasional pada Mei 2016 dan telah membukukan transaksi sebesar Rp25,4 miliar. Dari total transaksi tersebut, 90 persen kredit di antaranya mengalir ke pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan sisanya diserap oleh perorangan.
Investree membidik dua kategori pinjaman. Yakni, pinjaman bisnis bagi pelaku usaha, dan pinjaman personal. Untuk pelaku usaha, Investree mensyaratkan dokumen berupa
invoice sebagai pelicin pencairan kredit. Sementara, bagi pinjaman personal, perusahaan tempat peminjam bekerja telah menjalin kerja sama dengan Investree.
“Ini menjadi tantangan kami, kami tentunya harus memperbanyak kerja sama dengan pelaku UMKM, termasuk perusahaan agar karyawannya bisa memanfaatkan fasilitas pinjaman di Investree. Saat ini, kami juga sudah bekerja sama dengan bank untuk mereferensikan nasabahnya yang tidak
feasible (layak) bagi mereka,” terang Adrian.
Hingga saat ini, Investree mencatat 570 investor aktif dari total 1.000 yang terdaftar. Adapun, rata-rata pinjaman yang diberikan sebesar Rp15 juta dengan pinjaman maksimum sebesar Rp100 juta. Tenor pinjaman bervariasi rata-rata 52 hari dengan maksimum jangka 12 bulan.
Selain Investree, model bisnis
peer to peer lending juga dilakukan oleh pelaku usaha fintech lainnya, yakni Modalku. Perusahaan ini membidik segmen khusus pelaku UMKM sebagai nasabahnya.
“
Assesment kami seperti bank, cuma yang lebih uniknya, kami juga melihat kualitas sang pemilik usaha, seperti asetnya, keluarganya, dan pendidikannya,” tutur Reynold Wijaya, CEO dan Co-Founder Modalku.
Minim RisikoJika ditelisik lebih jauh, sebetulnya, model bisnis
peer to peer lending relatif lebih minim risiko ketimbang fintech yang menyalurkan kredit secara langsung kepada masyarakat. Pasalnya,
peer to peer lending hanya memfasilitasi mereka yang kelebihan dana dengan mereka yang membutuhkan pendanaan.
Bahkan, dana yang akan ditransfer dari pemilik dana kepada peminjam pun ditaruh di kantong pihak ketiga (
escrow), dalam hal ini adalah bank perantara. Sehingga, pelaku
peer to peer lending tidak merogoh kocek mereka sendiri untuk menyalurkan kredit kepada peminjam.
“Kami bukan perusahaan finansial. Melainkan hanya platform pinjam meminjam. Risiko bukan di kami. Tetapi, kami membantu memitigasi risiko. Kami juga membantu
collection (pengumpulan dana) dengan cara mengingatkan peminjam,” kata Andi M Andries, Chief of Risk & Operation Investree.
Di Investree, transaksi pinjam meminjam dikenakan biaya (
fee). Inilah yang kemudian menjadi pendapatan bagi perusahaan. Bukan bunga. Bunga yang diperoleh pemilik dana murni berasal dari peminjam, dan sebaliknya, peminjam membayar bunga kepada pemilik dana.
Setali tiga uang, Modalku juga mengandalkan
fee dari setiap transaksi sebagai pendapatannya. Sehingga, risiko gagal kredit nyaris bukan risiko bisnis Modalku. Namun demikian, Reynold mengingatkan, Modalku juga tak bisa asal-asalan memberi panggung kepada mereka yang memiliki reputasi kredit buruk atau potensi
fraud.
“Diperlukan kemampuan untuk melakukan analisa kredit, karena kredit yang dihadirkan harus dinilai baik dan karena dipercayakan untuk mengalokasikan dana, maka kami harus memiliki kredibiltias. Platform juga harus memiliki
support system yang kuat. Karena, bagaimana pun berhubungan dengan dana masyarakat,” imbuh Reynold.
Saat ini, Reynold menambahkan, tantangan terbesar Modalku adalah membangun kepercayaan publik, baik dari peminjam maupun yang memberikan pinjaman. Pemberi pinjaman harus yakin bahwa
platform yang digunakan memberikan akses kredit yang baik dalam alokasi dana mereka. Sedangkan, peminjam harus percaya,
platform ingin menawarkan yang terbaik bagi mereka.
“Edukasi dan komitmen terhadap perlindungan konsumen menjadi sangat penting dalam membangun kepercayaan ini,” pungkasnya.
(bir/gen)