Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengkritik minimnya koordinasi antar kementerian/lembaga (K/L) maupun pemerintah pusat dan daerah selama dua tahun dipimpin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, menurut Apindo, koordinasi dalam bikrokrasi sangat diperlukan untuk memberikan kepastian bagi pelaku usaha di tengah perlambatan ekonomi domestik dan global.
"Permasalahan yang dihadapi pemerintah, selain masalah global juga masalah koordinasi dalam birokrasi. Ini tantangan yang harus diselasaikan," ujar Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Apindo di sela-sela acara Rembuk Nasional di Hotel Grand Sahid Jaya, Senin (24/10).
Hariyadi mengatakan, kurangnya koordinasi itu berdampak pada implementasi berbagai paket kebijakan ekonomi yang tidak optimal. Ujung-ujungnya, memengaruhi dunia usaha. Misalnya, ia mencontohkan, ada pabrik di Sumatera Utara, dan Daerah Istimewa Aceh yang dekat dengan sumber gas, namun gulung tikar karena tidak memperoleh pasokan gas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang, agak sulit bicara persentase terkait efektivitas paket kebijakan ekenomi. Tetapi, masih banyak yang harus dilakukan karena yang efektif jumlahnya masih relatif kecil," terang dia.
Beberapa isi paket kebijakan yang berdampak positif bagi dunia usaha di antaranya yang terkait formulasi upah, pusat logistik berikat, serta percepatan waktu proses perizinan di Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Lebih lanjut Hariyadi menuturkan, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerintah tidak hanya berbicara dalam tataran makro, seperti terjaganya tingkat inflasi dan nilai tukar, tetapi bagaimana menciptakan peluang investasi yang bisa menyerap banyak tenaga kerja dan pada akhirnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat.
Hariyadi berharap, pemerintah bisa meningkatkan lagi koordinasi internalnya di tahun depan. Dengan demikian, kebijakan yang ditelurkan tidak hanya berhenti di satu titik tertentu dengan mengedepankan kepentingan nasional.
"Indonesia itu ujung-ujungnya harus menjadi juara di regional, menjadi negara besar dan kita menjadi mesin karena penduduk kita besar, pasar kita besar. Namun, kalau kebijakannya tidak bagus sampai kapan tidak akan jalan," tegas Hariyadi.
"Memang, penciptaan lapangan kerja, melakukan subsitusi impor, impornya harus dikecilkan semaksimal mungkin. Ekspornya dibesarkan untuk produk bernilai tambah tinggi, ini kita tahu harus dilakukan, tetapi eksekusinya yang lama," pungkasnya.