Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengesampingkan isu perubahan kelembagaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) di dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas (Migas).
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, aspek kelembagaan SKK Migas memang perlu dibahas, namun bukan menjadi prioritas.
Menurutnya, prioritas pembahasan revisi UU Migas saat ini adalah memastikan penguatan posisi PT Pertamina (Persero) dalam upaya meningkatkan produksi migas di dalam negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena UU Migas ini seharusnya memiliki semangat untuk kedaulatan energi. Sehingga, koridor revisi UU Migas adalah memperkuat
National Oil Company (NOC) terlebih dahulu. Artinya, agar jiwa dan semangat UU Migas tak akan lari kemana-mana," ujar Arcandra, Selasa (1/11).
Lebih lanjut ia menuturkan, penguatan posisi Pertamina sangat penting karena kontribusinya di dalam produksi migas dalam negeri masih sangat kecil. Menurutnya, saat ini Pertamina baru berkontribusi sebesar 24 persen dari total produksi migas nasional.
Angka ini masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan Saudi Aramco yang berkontribusi 95 persen terhadap produksi minyak nasional Arab Saudi, atau Petronas yang menyumbang 50 hingga 56 persen produksi migas negeri Jiran, Malaysia.
"Sudah keharusan bagi negara untuk memperkuat NOC. Masalah pengganti SKK Migas, itu sedang dalam pembahasan," tuturnya.
Kendati demikian, ia menilai jika penggabungan antara badan pengawasan dan pembinaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan perusahaan migas pelat merah juga bisa berhasil di beberapa negara. Sementara itu, terdapat pula contoh lain di mana negara memiliki pemisahan antara NOC dan badan pelaksana kegiatan hulu migas.
"Opsi mana yang lebih baik bagi Indonesia? Saya berpendapat, lebih baik kita lihat kontribusi NOC terhadap total produksi nasionalnya," jelasnya.
Debat KusirSementara itu, Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi berpendapat sebaiknya pemerintah dan legislatif tak perlu berdebat kusir ihwal kelembagaan SKK Migas nantinya.
Menurut mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, banyak masalah yang lebih penting untuk dibahas. Diantaranya meningkatkan daya saing investasi migas di Indonesia dan menghilangkan disinsentif dalam penanaman modal di industri yang tengah terpukul kejatuhan harga minyak tersebut.
"Begini, untuk apa menghabiskan banyak energi untuk mengubah organisasi. Karena apa, kerepotan lain akan menunggu jauh lebih banyak. Misalnya, menanggulangi sifat kompetitif Indonesia, dan mengurangi cost factor speerti perizinan, pembebasan lahan, itu jauh butuh energi lebih besar," terang Amien.
Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 tahun 2013 tentang, peran SKK Migas hanya bersifat sementara sampai UU Migas yang baru diterbitkan. Sebagai inisiator revisi UU Migas, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menawarkan tiga opsi pengganti SKK Migas.
Opsi pertama adalah menjadikan PT Pertamina (Persero) sebagai pemegang kuasa pertambangan (
mining rights) dan eksekutor kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC). Kondisi ini akan sama seperti dulu, di mana pengelolaan migas dilakukan perseroan melalui Badan Pengawasan Pengusahaan kontraktor Asing (BPPKA).
Opsi berikutnya adalah menempatkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai pemilik
mining rights, namun kontrak PSC dilakukan oleh BUMN Khusus. Dengan tujuan, proses tender dan pengawasan bisa dilakukan oleh satu institusi khusus saja.
Pilihan ketiga adalah,
mining rights masih dipegang oleh Kementerian ESDM, namun eksekusi kontrak dilakukan oleh Pertamina. Hal ini dianggap sejalan dengan keinginan Pemerintah yang menginginkan Pertamina untuk mendapatkan keistimewaan di dalam RUU Migas.
(gen)