Jakarta, CNN Indonesia --
"Bank Indonesia memperkirakan Fed Fund Rate hanya mengalami kenaikkan satu kali pada tahun 2016,"Kalimat tersebut terakhir kali muncul dari mulut pejabat Bank Indonesia (BI) pada 20 Oktober lalu atau pada saat bank sentral kembali menurunkan suku bunga acuan BI 7
Days Reverse Repo Rate-nya sebanyak 25 basis poin dari 5 persen menjadi 4,75 persen.
Dalam kalimat tersebut terbaca jelas BI masih menjadikan wacana Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebagai kompas dalam menentukan arah kebijakan moneter Indonesia ke depannya. Meski simpang-siur The Fed mengubah suku bunga sudah berembus sejak tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola pikir para bankir tersebut sempat mendapat kritikan dari mantan Gubernur BI yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Darmin menganggap sudah bukan saatnya BI dipusingkan lagi oleh rencana kebijakan Janet Louise Yellen, sang komandan The Fed beserta dewan gubernur lainnya.
“Kenapa jadi pusing? Kita sudah jalani ini selama berbulan-bulan, selama bertahun-tahun bahkan. Tidak ada apa-apa kok. Jangan terlalu menganggap bahwa ini adalah masalah yang bisa mengacaukan kita," ungkap Darmin di kantornya pekan lalu.
 Menko Perekonomian Darmin Nasution mengkritik Bank Indonesia yang dinilai terlalu berkiblat pada The Federal Reserve dalam mengambil kebijakan moneter. (Dok. Sekretariat Kabinet) |
Pernyataan Darmin bukan tanpa dasar. Ia menilai perekonomian Indonesia terus membaik jika dibandingakan dengan enam hingga 10 bulan lalu. Sehingga sentimen ketidakpastian kapan suku bunga acuan negara Barrack Obama beranjak naik, tidak akan memberikan dampak signifikan bagi pasar keuangan domestik.
Dampak signifikan The Fed menurut Darmin bisa dilihat langsung dari volatilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
"Waktu enam bulan sampai 10 bulan yang lalu, kita memang lebih sensitif. Setelah dua sampai tiga kali, memang kebetulan baru sekali yang naik. Tapi setelah dilihat, naik pun tidak ada apa-apa kok," jelas Darmin.
Pernyataan Darmin ada benarnya. Usai keputusan The Fed menaikkan suku bunganya pertama kalinya dalam satu dekade pada 17 Desember tahun lalu, pergerakan nilai tukar rupiah memang sempat melemah.
Berdasarkan riwayat kurs referensi JISDOR BI, tiga hari menjelang pengumuman The Fed, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan hingga sempat menembus Rp14.076 per dolar. Namun perlu dicatat, posisi tersebut hanya mampu bertahan hingga 18 Desember, yakni di level Rp14.032 per dolar.
Namun pada 21 Desember, rupiah kembali ditutup menguat di level Rp13.872 per dolar. Artinya, rupiah hanya butuh tiga hari saja untuk kembali memulihkan diri dari efek kejut suku bunga The Fed.
 Nilai rukar rupiah dinilai sudah lebih stabil. (ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma) |
Memasuki tahun 2016, rupiah sempat menyentuh ke level Rp12.986 pada 28 September 2016, hingga 8 November rupiah masih di level Rp13.090 per dolar.
Namun, Kepala Departemen Pendalaman Pasar Uang Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsyah memiliki perbedaan pendapat dengan mantan atasannya tersebut. Ia menilai suatu hal yang wajar jika BI mengacu kepada sesepuhnya di AS sebelum mengambil kebijakan moneter. Hal ini didasarkan data dan fakta besarnya skala ekonomi AS di portofolio ekonomi global.
Karena memiliki kekuatan terbesar di dunia, ekonomi AS memang sangat menentukan arah pergerakan ekonomi dan pasar modal dunia. Maklum, saat ini The Fed-lah yang menyetir kebijakan moneter AS. Kebijakannya juga sangat menentukan arah pasar modal di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan kebijakan The Fed pun dianggap lebih berpengaruh ketimbang kebijakan devaluasi mata uang yuan yang dilakukan oleh China beberapa waktu lalu.
"Yang namanya bank sentral di negara manapun akan selalu
prudent, sehingga sekecil apa pun risiko harus masuk dalam formulasi kebijakan," ujar Nanang kepada CNNIndonesia.com.
Sikap hati-hati bank sentral tersebut pun mendapat sambutan positif dari pelaku pasar keuangan. Direktur Utama PT Bank Danamon Indonesia Tbk Sng Seow Wah memuji kinerja bank sentral dalam meredam gejolak internal maupun eksternal.
Menurutnya, BI berhasil mengendalikan indikator makro ekonomi maupun moneter di tengah gejolak perekonomian dunia. Namun, Seow juga menantang BI untuk lebih luwes dalam menghadapi tantangan kenaikan Fed
rate yang diprediksi terjadi akhir tahun ini..
"Kualitas BI dalam memitigasi risiko sudah sangat baik, hal ini berbeda dengan 10 tahun lalu. Indonesia adalah pasar yang kuat, jadi sebenarnya tidak usah khawatir," ujarnya.
Tantangan untuk lebih melonggarkan kebijakan juga diserukan Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual. David menyebut BI masih memiliki ruang untuk sekali lagi menurunkan BI 7
Days Reverse Repo rate menjadi 4,5 persen di akhir tahun.
 Gubernur The Federal Reserve Janet Yellen diyakini bakal menaikkan suku bunga di akhir tahun. (REUTERS/Jonathan Ernst) |
Meski diprediksi Janet Yellen akan kembali menggelar rapat untuk menaikkan Fed
rate sebesar 25 basis poin pada Desember nanti. Para pelaku pasar pun dianggap sudah bisa membaca dengan gamblang rencana tersebut dan sudah membekalkan diri dengan segala amunisi.
"Rencana The Fed untuk naikkin Fed
rate sudah diantisipasi banyak orang, BI pun masih punya peluang turunkan satu kali lagi," ujar David.
(gir/gen)