ESDM: Harga Gas Bukan Komponen Biaya Terbesar Industri Baja

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 10 Nov 2016 23:39 WIB
Komponen biaya produksi terbesar di industri baja terdapat pada bijih besi (iron ore) dan besi lain (scrap) dengan porsi mencapai 40 persen.
Ilustrasi industri baja. (www.krakatausteel.com).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menilai penurunan harga gas bagi industri baja tak cukup untuk membuat produk baja memiliki harga yang berdaya saing tinggi. Pasalnya, komponen harga gas bukan komponen produksi terbesar bagi industri baja.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Pembinaan Program Migas Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM Suryaningsih mengatakan, komponen biaya produksi terbesar terdapat pada bijih besi (iron ore) dan besi lain (scrap) dengan porsi mencapai 40 persen. Sementara, biaya gas hanya mengambil besaran 23 persen dari total seluruh biaya.

"Justru iron ore yang mengambil porsi terbesar, biaya gas yang langsung justru mengambil peringkat kedua. Sehingga, jika produk ingin lebih efisien, apa iya diserahkan semua ke gas?" ujarnya, Kamis (11/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut ia menerangkan, saat ini, harga pasaran baja tercatat US$496 per ton. Namun, mengambil contoh PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, ongkos produksinya justru mencapai US$582 per ton. Dengan kata lain, produksi Krakatau Steel terbilang lebih tinggi dibanding harga pasarnya.

Jika perusahaan tetap ingin berjualan baja sesuai harga pasar, maka harga gas yang perlu disediakan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) adalah US$2,5 per MMBTU. Penurunan ini terbilang cukup drastis ketimbang harga yang dibeli Krakatau Steel saat ini, yakni sebesar US$7,75 per MMBTU.

"Makanya, perlu dilakukan lagi price review dengan KKKS. Untuk baja, memang perlu problem solving satu per satu, sehingga sampai saat ini masih belum siap diturunkan," terang dia.

Direktur Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono menuturkan, sebetulnya, komponen harga gas terhadap total produksi industri logam berbeda-beda. Dari 10 perusahaan baja dan hilir logam yang tercatat di Kemenperin, penggunaan gas memiliki rentang 15-70 persen dari total ongkos produksi.

Kendati demikian, ia agak khawatir apabila proses produksi penting yang tidak bisa dilakukan cuma karena alasan harga gas industri masih selangit. Ia mencontohkan, proses peleburan material (melting process) baja di Krakatau Steel yang sangat bergantung dengan harga gas.

"Namun, kami juga setuju jika biaya produksi yang lain ikut diefisienkan. Menurut catatan kami, industri baja dan logam lainnya memiliki pertumbuhan 4,92 persen pada tahun lalu. Jika memang harga produknya bisa bersaing, kami yakin pertumbuhannya lebih tinggi," imbuh Achmad.

Sebelumnya, pemerintah menegaskan bahwa industri pupuk, petrokimia, serta baja adalah tiga sektor utama yang bisa menikmati penurunan harga gas industri. Keputusan itu didapat dalam rapat tingkat Kementerian Koordinator bidang Perekonomian pekan ini.

Sebagai informasi, penurunan harga gas ini nantinya hanya berlaku bagi industri pupuk, industri petrokimia, industri oleochemical, industri baja, industri keramik, industri kaca, dan industri sarung tangan karet. Ini berlaku sesuai dengan pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016.

Selain itu, Menteri ESDM juga dapat menetapkan harga gas bumi tertentu jika tidak memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari US$6 per MMBTU. (bir/gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER